Pages

Thursday, November 4, 2010

Dia itu


“hmmmm”, ia mendesah diikuti dengan sebuah senyuman, senyuman yang lama tak aku lihat. Ya, setidaknya itu juga yang aku harapkan selama ini, sebuah senyuman yang tulus, sebuah senyuman yang benar-benar bermakna senyuman, bukan sebuah senyuman yang mempunyai makna kebencian, keputus asaan, keprihatinan, dan makna-makna yang bukan makna sebenarnya. Yah, hal ini menjadi sebuah harapan bahwa senyuman yang ia sunggingkan merupakan senyuman yang juga mempunyai makna harapan, yang ku tahu sudah lama ia tak memiliki harapan dan akupun Sudah lama tak pernah menanyakanya karena setiap aku bertanya ia selalu menjawab, “Ah, persetan dengan harapan! Toh harapan yang ku miliki selama ini tak pernah memberi apa yag aku harapkan”.
Tapi hari ini saat ku lihat ia duduk di depan teras kosannya, ia tak tampak seperti biasanya, wajahnya kambali memancarkan aura yang tak pernah aku rasakan sejak ia tak memiliki harapan. “kayaknya ada yang beda nih hari ini”, kataku saat ku duduk di sampingnya.
Ia menoleh dan melemparkan senyumnya padaku. Ia masih diam. Ku coba menerka-nerka apa yang ia pikirkan.
Ia berdiri dan melangkah ke tembok pembatas. Ia duduk di atasnya. “kok gak jawab?” tanyaku saat ia tak memberikan jawaban. Ia tak memberi respon.
Hmmm, dia memang satu-satunya teman aku yang benar-benar tak jelas. Adakalanya aku bisa menerka apa yang ia pikirkan, tapi lebis sering bahkan 90% terkaanku salah total. Munkgin terkaanku yang sekarang pun juga sama.
“senang ya sekarang? Kayaknya dari tadi senyam-senyum terus.. apa sudah punya harapan lagi? Atau senang karena gak ketemu-ketemu harapannya? Atau jangan-jangan punya konsep lain tentang harapan?atau mungkin sudah hilang tuh kata harapan dalam otak mu?” ku cecar ia dengan pertanyaan-pertanyaan yang ku tak tahu apakah ia akan menjawabnya atau malah bertanya balik padaku, entahlah.
Ia tak menjawab, pula tak menanyakan apa-apa padaku. Ia malah melangkah mendekatiku dan duduk disampingku tanpa senyum seperti tadi. “kenapa sih orang ini?” pikirku. Aku semakin dibuat pusing dengan tingkahnya. Rasa beda yang aku rasakan semakin terasa. Sukar sekali untuk ku tebak tentang apa yang ia pikirkan. Jangankan menebak, bertanya saja ia tak menjawab.
Hingga akhirnya akupun merasa rugi memikirkan semua tentang dia sedari tadi, tentang harapan, bahkan pertanyaan-pertanyaan yang ku rangkai satu persatu dengan susah agar mendapat jawaban darinya dan mengobati rasa penasaranku, saat ia berdiri sambil memandangi arlojinya dan berkata, “sory man, dari tadi aku mikirin apa yang bakal aku ajarin hari ini ke murid-muridku. Hmm, sekarang sudah jam setengah lima, saatnya aku pergi ngajar. Ku tinggal dulu ya!”.
“Dasar, Semprul…..!”