Pages

Wednesday, June 11, 2014

Ngebolang ke Sumatra # Pematangsiantar

*Lanjutan episode Sumatra

Teman saya dan sepupunya
Kenapa kami ke Pematangsiantar? Jawabannya adalah karena teman seperjalanan saya keturunan Batak. Waktu kecil banget dia pernah tinggal di Pematangsiantar dan sudah belasan tahun dia nggak pernah ke Pematangsiantar lagi. Ketika keluarga teman saya yang di Siantar (saya lebih sering dengar orang Pematangsiantar nyebut Siantar daripada Pematangsiantar) tahu kalo teman saya mau ke Sumatra, semuanya pada ngubungin dia supaya mampir. Pada awalnya, rencana kami hanya mampir satu atau dua hari di Siantar. Tapi setelah tahu kalo keluarga temen saya ini di Siantar cukup banyak, maka kami harus meluangkan waktu lebih dari itu.

Di Siantar orang-orangnya beragam. Walaupun penduduknya didominasi oleh orang Batak (namanya juga kampungnya orang Batak, hehe), ada beberapa penduduknya yang berasal dari Jawa dan beberapa suku yang lain.

Perjalanan ke Siantar menurut saya bukan sekedar perjalanan biasa. Di Siantar saya berada di lingkungan yang mayoritas orang-orangnya Non-Muslim. Saya sebagai Muslim, sejak kecil diajarkan untuk tetap menjalankan dan tidak meninggalkan kewajiban saya sebagai Muslim, khususnya sholat 5 waktu, di mana pun dalam kondisi apap pun. Sebenarnya, keluarga teman saya sangat menghormati saya dan apa yang harus saya lakukan sebagai Muslim, hanya saja saya kadang merasa tidak enak untuk ijin numpang sholat atau hanya sekedar nanya kiblat (barat) berkali-kali. Sempat terpikir untuk tidak sholat aja, hehe.

Bercengkrama di depan rumah salah satu keluarga teman
Suatu hari pada hari Jum'at, saya harus sholat Jumat dan saya tidak tahu masjidnya di mana. Saya bertanya pada sepupu teman saya. Sepupu teman saya pun menjawab, "masih belum bang. Di sini Jumatan jam setangah satu lebih" dan saya pun heran kok dia tahu waktu sholat Jumat, "cukup jauh masjidnya dari sini kalo jalan kaki, entar aku antar" tambahnya dengan logat Bataknya yang khas.

"Nanti kalo abang udah selesai, sms aja ya! jangan jalan kaki. Aku jemput abang lagi" kata sepupu teman saya sesampainya di Masjid.

Ya, keluarga temen saya yang Non-Muslim sangat menghormati saya. Bahkan, meraka selalu memastikan menyajikan makanan yang halal buat saya dengan membeli makanan di warung-warung orang Muslim Jawa. Saya sangat bersyukur bisa merasakan hidup yang indah berada di lingkungan yang berbeda tapi saling menghormati.

Di tanah Batak seperti di Siantar, ketika orang baru kenal maka pertanyaan yang tidak pernah luput ditanyakan adalah marga. Pertanyaan itu pun juga pernah saya dapatkan. Saya pun sambil tersenyum menjawab "saya bukan orang Batak".

"Terus kamu suku apa?" ada yang pengen tahu.
"Madura" jawab saya.
"Madura tidak ada marganya kah?" tanyanya lagi.
"tidak" jawab saya lagi.

Berbeda dengan orang Madura dan Jawa, mengetahui marga seseorang bagi orang Batak penting, karena aturan yang berlaku buat orang Batak selama meraka satu marga maka mereka bersaudara. Maka jika ada  dua orang Batak yang baru kenal berasal dari satu marga, mereka akan sangat akrab seperti udah  kenal lama. Selain itu, karena satu marga itu saudara, maka sesama marga mereka dilarang menikah. Tidak akan pernah dijumpai suami-istri orang Batak dari satu marga.

  

Friday, June 6, 2014

Suara

Pukul 07.15, atau mungkin 07.30, atau bisa jadi 07.45 suara itu mulai terdengar. Ya, terdengar dan tak ada yang benar-benar mendengarkan. Suara itu tampak seperti hal yang tidak aneh sampai saat ini. Di balik cahaya ia menderu tanpa merasa kaku, tanpa merasa ada orang yang terganggu karena tak pernah sekalipun ku lihat seorangpun yang menganggap dia ada, apalagi menggangu. Ya, mungkin dia tak perlu merasa khawatir akan ada orang yang membencinya karena dia bersembunyi di balik cahaya yang orang begitu membutuhkannya.

Hanya aku, mungkin,  yang merasakannya ada di ruangan itu. Kadang ia terdengar samar dan tiba-tiba terdengar keras. Kadang ia terdengar keras dan tiba-tiba begitu samar. Aku merasakannya, benar-benar merasakannya. Sesekali aku merasa terganggu dan bertanya mengapa tidak ada seorangpun yang berniat menghilangkan suara itu. Tak ada jawaban.

Pernah sekali ku menghilangkannya sementara. Untuk beberapa saat tak ada masalah, bahkan ketika beberapa teman sudah tiba di ruangan itu. Untuk beberapa saat. Namun tiba-tiba, "kenapa nggak dinyalain?" tanya temanku.

"Berisik" jawabku singkat.

"Gelap tau, kalo nggak dinyalain" sergahnya.

Aku pun berusaha berkawan dengan suara aneh itu.  

Thursday, June 5, 2014

Bayangmu

Ini bayangmu, lagi,
bersemedi dalam sepi dan ramainya putaran kata yang tak terhenti
dalam rongga kepala, jua pada batas rasa dalam hati
mengapa kau tak melompat, berubah menjadi susunan materi yang padat?
bukan menjadi hantu yang berkelebat di setiap sisi yang terikat,
kemudian mencair dan mengalir pada sekat-sekat sudut yang terlipat.
Ah, takdir akan menuntunmu suatu saat.  

Tuesday, April 29, 2014

Tak Semakna

Aku, kau,
terpendam dalam galaksi biru yang mulai padam,
tertindih sesak oleh garis melintang yang suram.
di ujung garis ku berdiri
dan di sana kau bermimpi.
Aku, dan entah kau, lelah,
melihat hembusan nafas yang tak searah.
Mungkin bukan karena kepala yang berbeda,
bukan pula logika,
tapi rasa yang sirna dan dada yang tak membusung sama
Aku, kau,
duduk berbicara tapi tak pernah mengangguk
hanya kata iya yang tak pernah semakna.
Lalu, haruskah aku, kau,  tetap diam,
dalam ruang yang tak mungkin terang
dan menunggu padam menjadi kelam?
Aku tidak.
Biarkan aku beranjak.