Pages

Friday, July 26, 2013

Insomnia

Ya, aku hanya menapaki langkah rawan di ujung jalan bercabang
Mencari arti dari mimpi yg menggantung di setiap dahan misteri
Inikah rahasia yg tak terungkap dalam dekap tidur yg tak lelap?
Atau hanya bayangan sekejap?
Ah, itu hanya kepak sayap di antara embun yg menguap.

Tuesday, July 23, 2013

Ngebolang ke Sumatra # Palembang



Setibanya di pelabuhan Belinyu, kami sempat ngopi di sebuah warung kecil yang ternyata punya orang Palembang yang kurang lebih 6-7 tahun tinggal di Belinyu. Saya kemudian bertanya banyak tentang Palembang, karena kebetulan Palembang rencananya menjadi destinasi selanjutnya setelah Bangka. Mas tersebut (lagi-lagi saya gak nanya namanya) bercerita kalo Palembang itu daerah yang rawan.

“Pokoknya kalo nggak berani berantem jangan ke Palembang deh!” ujarnya, “apalagi di pelabuhannya, angkot dan ojeknya suka maksa. Belum lagi kalo naik ojek dan angkot seringkali dibawa muter-muter dulu kalo penumpangnya ketauan orang baru, tau-taunya pas nyampe mereka langsung minta ongkosnya gak tanggung-tanggung” tambahnya.

Cerita mas tersebut membuat saya was-was. Saya penasaran apakah teman perjalanan saya juga merasakan yang sama, tapi saya nggak mau nanya.

Beruntungnya Allah memperkenalkan saya dengan seorang @Sahabat5cm asal Palembang yang bernama @reinypaulus, walaupun saat itu belum ketemu di dunia nyata. Saya pun mengabarinya beberapa hari sebelum keberangkatan untuk minta bantuan ketika saya di Palembang.

“Insya Allah tanggal segitu aku lagi di Palembang, semoga aja kita bisa ketemu kak!” katanya saat saya chatting dengannya sembari langsung memberikan nomor handphonenya. @reinypaulus saat ini sedang melanjutkan studinya di Jogja dan kebetulan dia lagi liburan di Palembang.

Ada dua cara dari Belinyu ke Palembang, naik Jetfoil atau kapal ferry. Kedua-duanya via pelabuhan Mentok-Boom Baru membelah sungai Musi. Yang membedakannya adalah waktu tempuh dan ongkos tentunya. Naik ferry membutuhkan waktu kurang lebih 18 jam, sedangkan Jetfoil cuma kurang lebih 3 jam. Belum lagi jarak tempuh Belinyu-Mentok yang menghabiskan waktu 3 jam lebih. Dengan berbagai pertimbangan maka kami memutuskan untuk naik Jetfoil walau ongkosnya cukup lebih mahal dari ferry.
Jam 1 siang kami tiba di Boom Baru dan kami langsung ketemu si @reinypaulus.

“udah lama nunggu, Ren?” Tanya saya.

“nggak, baru aja nyampek waktu kakak sms” jawabnya sambil tersenyum, “kita nunggu bang Oji ya!” tambahnya.

Kami duduk tepat di depan gerbang pelabuhan sambil bercerita ngalor-ngidul tentang @sahabat5cm. Sambil bercerita, saya sedikit mengamati suasana pelabuhan. Sepertinya apa yang saya alami dan lihat berbeda jauh dari apa yang diomongin tukang warung kopi yang saya temui di pelabuhan Belinyu. Para penjual jasa angkut juga tidak maksa-maksa kalo yang ditawarin nolak.

Saat bertemu bang Oji, dia bercerita banyak tentang Palembang. Saya pun kemudian bertanya tentang kondisi Palembang yang diceritakan tukang warung kopi dan bang Oji menjawab jika kondisi itu benar adanya, tapi itu dulu, 7-10 tahun yang lalu, kalo sekarang aman-aman aja.

Sebelum keliling Palembang, bang Oji mengajak kami makan siang di restoran fast food asal luar negeri yang cukup terkenal di Indonesia. Dia sendiri bekerja di sana dan menempati posisi penting, bahkan mengurusi semua cabang yang ada di Sumsel dan Sumbar. Hebat. Setelah itu kami langsung pergi ke PO Bus untuk memesan tiket ke Bukittinggi.

Seperti kota-kota besar lainnya, Palembang juga mengalami yang namanya macet. Bahkan kata bang Oji, kalo sudah jam 5 sore, jalanan begitu padat. Saking macetnya perjalanan yang biasanya ditempuh 30 menit bisa menghabiskan waktu berjam-jam. Ya, sama seperti di Jakarta dan sekitarnya.

Bareng dua orang hebat, bang Oji dan Reiny Paulus.
Jika di Belinyu kami mengunjungi wisata-wisata alam, kalo di Palembang yang ada hampir semua yang saya kunjungi adalah wisata budaya dan olahraga, seperti makam raja-raja Sriwijaya, jembatan Ampera, benteng Kuto Besak peninggalan zaman penjajahan Belanda, Jakabaring Sport City yang di dalamnya ada stadion Brawijaya dan Wisma Atlet; gedung bermasalah yang akhir-akhir ini jadi perbincangan hangat di negeri ini.
Jakabaring Sport Center.
Untuk urusan kuliner, pastinya Palembang tak bisa dipisahkan dengan yang namanya mpek-mpek. Pengunjung tinggal milih, dari mpek-mpek kelas artis sampai mpek-mpek kelas kaki lima, semua ada (namanya juga gudangnya mpek-mpek, hehe). Tapi ada wisata kuliner yang unik, yaitu warung terapung. Warung-warung ini menyediakan aneka makanan dan minuman yang disajikan di atas perahu di atas sungai Musi.
Warung Terapung sungai Musi


Monday, July 22, 2013

Ngebolang ke Sumatra # Bangka

Pantai Penyusuk
Setelah tertunda setahun lebih, akhirnya rencana berpetualang ke pulau Sumatra terlaksana. Pada awalnya kami terdiri dari tiga orang; saya, dosen saya, dan adik kelas saya, namun hingga waktu yang ditentukan, adik kelas saya memutuskan untuk tidak ikut dengan beberapa alasan. Tanpa adik kelas, kami pun akhirnya tetap berangkat.

Sebenarnya pulau Bangka tidak masuk pada list destinasi perjalanan kami. Kurangnya pengetahuan dan persiapan yang matang akhirnya mengantarkan kami ke Bangka. Pelabuhan Belinyu yang awalnya kami kira berada di Belitung ternyata berada di Bangka dan itu kami sadari setelah kami berangkat ke Tanjung Priok untuk memesan tiket sehari sebelum keberangkatan kami.

Pada pukul 17.00 WIB, kamis, 7 Februari 2013 kami sudah berada di pelabuhan Tanjung Priok. Namun kami tidak langsung berangkat berlabuh setibanya di pelabuhan. Ya sesuai dengan jadwal yang tercantum di tiket, yaitu pukul 17.00 WIB (Waktu Insya Allah Bergeser). Butuh waktu kurang lebih 7 jam baru kami benar-benar berangkat.

Beberapa hari sebelum berangkat, teman saya yang sebelumnya pernah ke Manado via pelabuhan Tanjung Priok mengingatkan saya “hati-hati kalau di kapal, banyak calonya!”. Saya pun penasaran kok bisa di kapal banyak calonya.

“iya, di sana dek dicaloin dan calonya mainnya gerombolan gitu. Calonya itu nggak kayak calo-calo di terminal ato stasiun. Kalo terminal ato stasiun kemungkinan untuk menolak kalo gak sepakat ato menghindar itu lebih gampang. Dan mereka mainnya itu malak korban. Jadi kalo udah masuk kapal, jangan langsung nyari dek kalo bingung, tunggu aja di bagian belakang. Kalo ada yang nanya-nanya gak usah dijawab. Kalo kapal udah berangkat baru masuk ke dalem” Jelasnya.

Jujur, penjalasan temen saya membuat saya sedikit khawatir. Apalagi apa yang dia jelasin, yang begitu banyak kalo-kalonya, nggak membuat saya bener-bener ngerti, khususnya bagian belakang yang dia maksud. Penyebabnya tentu karena ini pengalaman awal saya melakukan perjalanan jauh menggunakan kapal.

Apa yang temen saya ceritakan ternyata benar adanya. Saat kami memasuki kapal, kami melihat ada gerombolan orang yang tiba-tiba narik beberapa penumpang dan nganterin mereka ke dek kosong (baca: belum ditempati). Setelah itu, mereka meminta bayaran dangan cara membentak-bentak penumpang tersebut. Tentunya penumpang tersebut merasa ketakutan untuk melawan, karena yang dihadapinya bukan sendiri, tapi tiga sampai lima orang. Akhirnya, si penumpang pun dengan tangan gemetar dan keringat dingin menyerahkan beberapa uang yang jumlahnya bisa sampai ratusan ke orang-orang tersebut.

Perasaan kasian pada penumpang yang jadi korban pemalakan tiba-tiba muncul, bercampur dengan perasaan geram terhadap para pemalak. Namun apa daya, saya tak mampu berbuat apa-apa terhadap kejadian yang terpampang jelas di depan mata saya. Yah, inilah potret kehidupan rakyat Indonesia yang katanya negerinya kaya-raya tapi masih ada rakyatnya yang ‘harus’ hidup dengan cara begituan. Ini pelajaran kedua yang saya dapati pada petualangan ini, selain molornya jadwal yang sampai berjam-jam.
Untungnya kami bertemu dengan seorang bapak-bapak pedagang sepatu (saya lupa namanya) yang juga naik kapal yang sama. Beliau sudah tujuh tahun bolak-balik Tanjung Priok-Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Selain itu, kami juga bertemu dengan seorang mas-mas (saya lupa nggak nanya namanya) yang juga baru pertama kali naik kapal via Tanjung Priok. Kamipun meminta bapak tadi untuk menjadi ‘pemandu’ sekaligus bodyguard kami :D dan Alhamdulillah kami terhindar dari ‘pemalakan’ para calo-calo kapal.
 
Dua orang temen seperjalanan kami
Perjalanan Tanjung Priok-Belinyu ditempuh selama tiga hari. Selama itu saya memperhatikan banyak hal yang perlu dibenahi oleh negeri ini (khususnya pemerintah) tentang pelayanan publik. Sepertinya, jaminan rasa aman kurang benar-benar diperhatikan. Hal itu bisa dilihat dari tidak adanya pengawasan baik dari pihak kapal maupun pihak yang berwajib. Selain itu, praktek monopoli di atas kapal sangat terasa. Harga barang-barang yang dijual begitu mahal, tiga hingga lima kali lipat. Bahkan kasur yang seharusnya (kata temen saya) gratis juga ‘dijual’. Fasilitas yang disediakan pihak kapal juga jauh dari kata layak, seperti toilet. Toilet yang ada sudah tak jelas bentuknya. Bahkan saya harus mandi pada waktu tengah malam karena kalo saya mandi pada sore atau pagi hari saya akan sangat kerepotan, satu tangan saya memegang sabun dan tangan yang lain harus memegang pintu yang tak bisa ditutup jika tak dipegang. Balum lagi makanan yang disediakan pihak kapal yang menurut saya jauh dari kata layak. Entahlah, apa ini hanya kebetulan saya dapet kapal yang kurang bagus.

Pukul 04.00 WIB kami tiba di Belinyu. Langit masih gelap. Kami memutuskan untuk singgah di musholla deket pelabuhan sambil menunggu waktu subuh dan jemputan. Pelabuhan Belinyu terbilang pelabuhan kecil, tapi walaupun masih gelap, saat itu cukup ramai oleh kendaraan antar kota.

Berbeda dengan daerah-daerah lain, di Bangka hampir tidak ada kendaraan umum jarak dekat. Oleh sebab itu, mayoritas masyarakat Bangka memiliki kendaraan sendiri. Transportasi yang ada hanya untuk jarak jauh, misalnya pelabuhan Belinyu-pelabuhan Mentok dan Belinyu-Bandara, itu pun hanya beroperasi sehari sekali, yaitu pukul 07.00 WIB. Bahkan jasa angkut macam ojek dan becak juga tidak ada.
Untuk berkeliling tempat-tempat bagus di pulau Bangka, kami menggunakan sepeda motor teman. Uniknya lagi, selama tiga hari di Belinyu, saya baru sekali ngeliat orang make helm, itu pun yang dibonceng, bukan yang ngebonceng :D.
Bareng Gaed P. Bangka

Beruntungnya kami memiliki teman asli Belinyu yang kami baru sadari waktu kami dalam perjalanan Tanjung Priok-Belinyu. Saya pikir kami akan kesulitan untuk keliling Bangka jika kami tidak memiliki kenalan.
Di Belinyu, saya melihat kehidupan masyarakat yang begitu beragam, dari asal suku, agama, bahkan kulinernya. Keberagaman ini terlihat begitu indah. Orang-orangnya ramah dan lingkungannya aman. Bahkan saya pernah lupa meninggalkan motor di luar penginapan dengan kuncinya semalaman dan tak ada yang mengotak-atik ?.

Batu Dinding
Namun, kalo ngomongin tempat wisata, menurut saya Belinyu hampir sama dengan Belitung. Wisata di Belinyu berupa pantai dengan bongkahan-bongkahan batu besar mirip dengan pantai-pantai yang ada di film Laskar Pelangi. Konon katanya Bangka dan Belitung dulunya satu pulau dan inilah yang mungkin menyebabkan keduanya memiliki banyak kemiripan.
Pantai Romodong