Pages

Wednesday, June 11, 2014

Ngebolang ke Sumatra # Pematangsiantar

*Lanjutan episode Sumatra

Teman saya dan sepupunya
Kenapa kami ke Pematangsiantar? Jawabannya adalah karena teman seperjalanan saya keturunan Batak. Waktu kecil banget dia pernah tinggal di Pematangsiantar dan sudah belasan tahun dia nggak pernah ke Pematangsiantar lagi. Ketika keluarga teman saya yang di Siantar (saya lebih sering dengar orang Pematangsiantar nyebut Siantar daripada Pematangsiantar) tahu kalo teman saya mau ke Sumatra, semuanya pada ngubungin dia supaya mampir. Pada awalnya, rencana kami hanya mampir satu atau dua hari di Siantar. Tapi setelah tahu kalo keluarga temen saya ini di Siantar cukup banyak, maka kami harus meluangkan waktu lebih dari itu.

Di Siantar orang-orangnya beragam. Walaupun penduduknya didominasi oleh orang Batak (namanya juga kampungnya orang Batak, hehe), ada beberapa penduduknya yang berasal dari Jawa dan beberapa suku yang lain.

Perjalanan ke Siantar menurut saya bukan sekedar perjalanan biasa. Di Siantar saya berada di lingkungan yang mayoritas orang-orangnya Non-Muslim. Saya sebagai Muslim, sejak kecil diajarkan untuk tetap menjalankan dan tidak meninggalkan kewajiban saya sebagai Muslim, khususnya sholat 5 waktu, di mana pun dalam kondisi apap pun. Sebenarnya, keluarga teman saya sangat menghormati saya dan apa yang harus saya lakukan sebagai Muslim, hanya saja saya kadang merasa tidak enak untuk ijin numpang sholat atau hanya sekedar nanya kiblat (barat) berkali-kali. Sempat terpikir untuk tidak sholat aja, hehe.

Bercengkrama di depan rumah salah satu keluarga teman
Suatu hari pada hari Jum'at, saya harus sholat Jumat dan saya tidak tahu masjidnya di mana. Saya bertanya pada sepupu teman saya. Sepupu teman saya pun menjawab, "masih belum bang. Di sini Jumatan jam setangah satu lebih" dan saya pun heran kok dia tahu waktu sholat Jumat, "cukup jauh masjidnya dari sini kalo jalan kaki, entar aku antar" tambahnya dengan logat Bataknya yang khas.

"Nanti kalo abang udah selesai, sms aja ya! jangan jalan kaki. Aku jemput abang lagi" kata sepupu teman saya sesampainya di Masjid.

Ya, keluarga temen saya yang Non-Muslim sangat menghormati saya. Bahkan, meraka selalu memastikan menyajikan makanan yang halal buat saya dengan membeli makanan di warung-warung orang Muslim Jawa. Saya sangat bersyukur bisa merasakan hidup yang indah berada di lingkungan yang berbeda tapi saling menghormati.

Di tanah Batak seperti di Siantar, ketika orang baru kenal maka pertanyaan yang tidak pernah luput ditanyakan adalah marga. Pertanyaan itu pun juga pernah saya dapatkan. Saya pun sambil tersenyum menjawab "saya bukan orang Batak".

"Terus kamu suku apa?" ada yang pengen tahu.
"Madura" jawab saya.
"Madura tidak ada marganya kah?" tanyanya lagi.
"tidak" jawab saya lagi.

Berbeda dengan orang Madura dan Jawa, mengetahui marga seseorang bagi orang Batak penting, karena aturan yang berlaku buat orang Batak selama meraka satu marga maka mereka bersaudara. Maka jika ada  dua orang Batak yang baru kenal berasal dari satu marga, mereka akan sangat akrab seperti udah  kenal lama. Selain itu, karena satu marga itu saudara, maka sesama marga mereka dilarang menikah. Tidak akan pernah dijumpai suami-istri orang Batak dari satu marga.

  

Friday, June 6, 2014

Suara

Pukul 07.15, atau mungkin 07.30, atau bisa jadi 07.45 suara itu mulai terdengar. Ya, terdengar dan tak ada yang benar-benar mendengarkan. Suara itu tampak seperti hal yang tidak aneh sampai saat ini. Di balik cahaya ia menderu tanpa merasa kaku, tanpa merasa ada orang yang terganggu karena tak pernah sekalipun ku lihat seorangpun yang menganggap dia ada, apalagi menggangu. Ya, mungkin dia tak perlu merasa khawatir akan ada orang yang membencinya karena dia bersembunyi di balik cahaya yang orang begitu membutuhkannya.

Hanya aku, mungkin,  yang merasakannya ada di ruangan itu. Kadang ia terdengar samar dan tiba-tiba terdengar keras. Kadang ia terdengar keras dan tiba-tiba begitu samar. Aku merasakannya, benar-benar merasakannya. Sesekali aku merasa terganggu dan bertanya mengapa tidak ada seorangpun yang berniat menghilangkan suara itu. Tak ada jawaban.

Pernah sekali ku menghilangkannya sementara. Untuk beberapa saat tak ada masalah, bahkan ketika beberapa teman sudah tiba di ruangan itu. Untuk beberapa saat. Namun tiba-tiba, "kenapa nggak dinyalain?" tanya temanku.

"Berisik" jawabku singkat.

"Gelap tau, kalo nggak dinyalain" sergahnya.

Aku pun berusaha berkawan dengan suara aneh itu.  

Thursday, June 5, 2014

Bayangmu

Ini bayangmu, lagi,
bersemedi dalam sepi dan ramainya putaran kata yang tak terhenti
dalam rongga kepala, jua pada batas rasa dalam hati
mengapa kau tak melompat, berubah menjadi susunan materi yang padat?
bukan menjadi hantu yang berkelebat di setiap sisi yang terikat,
kemudian mencair dan mengalir pada sekat-sekat sudut yang terlipat.
Ah, takdir akan menuntunmu suatu saat.  

Tuesday, April 29, 2014

Tak Semakna

Aku, kau,
terpendam dalam galaksi biru yang mulai padam,
tertindih sesak oleh garis melintang yang suram.
di ujung garis ku berdiri
dan di sana kau bermimpi.
Aku, dan entah kau, lelah,
melihat hembusan nafas yang tak searah.
Mungkin bukan karena kepala yang berbeda,
bukan pula logika,
tapi rasa yang sirna dan dada yang tak membusung sama
Aku, kau,
duduk berbicara tapi tak pernah mengangguk
hanya kata iya yang tak pernah semakna.
Lalu, haruskah aku, kau,  tetap diam,
dalam ruang yang tak mungkin terang
dan menunggu padam menjadi kelam?
Aku tidak.
Biarkan aku beranjak.

Monday, September 2, 2013

Ngebolang ke Sumatra # Bukittinggi


Sama halnya dengan Bangka, Bukittinggi awalnya bukan destinasi yang ada dalam rencana perjalanan kami. Keputusan mengunjungi Bukitinggi kami ambil pada saat kami sudah di PO bus Yoanda Prima (Jl. Sukarno-Hatta no 2 Palembang). Pertimbangannya adalah kami ingin mengunjungi Jam Gadang. Pada awalnya kami kira Jam Gadang berada di Padang, setelah ngobrol sama Bang Oji kami baru tahu kalo Jam Gadang adanya di Bukittinggi (maklum, ngebolang minim persiapan plus pengetahuan ?).

Palembang-Bukittinggi ditempuh selama kurang lebih 18 jam. Selama dalam perjalanan yang kami lihat kebanyakan hutan dan perkebunan. Karena kami berangkatnya hampir sore, kami lebih banyak tidurnya. Soalnya diluar bus tidak begitu banyak yang bisa dilihat. Syukurnya waktu hari mulai terang. kami melewati danau Singkarak, danau terbesar kedua setelah Toba, sehingga kami bisa menikmati pemandangan yang indah. Dan lagi, melewati indahnya danau Singkarak tidak pernah kami duga. Kami pun cuma bisa ngeliat dari dalam bus.

Walaupun di Bukittinggi, makanannya tetep Nasi Padang :)

Mie rebus Bukittingi
Kami nyampe Bukittinggi kurang lebih pukul 9an. Turun dari bus, kami pun langsung nanya-nanya lokasi Jam Gadang. Dari tempat kami turun dari bus, kami hanya perlu naik satu kali angkot dengan 3000 rupiah saja.

Sesampainya di kawasan Jam Gadang, kami tidak langsung menikmati pemandangan Jam Gadang dan sekitarnya. Yang kami lakukan adalah mencari tempat makan, maklum semaleman kami tidak makan, sekalian ngecharge hape dan istirahat. Kami pun memilih tempat makan yang berada dekat Jam Gadang.


Selain Bukittinggi merupakan kawasan yang sangat sejuk, saya pikir Bukittinggi juga merupakan kota yang aman, bersih dan nyaman. Hal tersebut bisa saya lihat dari begitu banyaknya anak-anak dan remaja yang jalan-jalan di pasar-pasar dan terminal-terminal. Pemandangan yang jarang saya lihat di kota-kota lainnya. Hal lain yang membuat saya takjub adalah masyarakatnya begitu religius. Saat saya di terminal (kebetulan terminalnya berdampingan dengan pasar)  dan kebetulan waktu itu dzuhur, saya lihat para pengunjung pasar dan pedagang antri buat sholat dzuhur di musholla kecil di pasar. Bahkan mereka yang bertampang preman penuh tato pun juga ikut ngantri. Subhanallah.

Namun sayang, dengan berbagai pertimbangan, kami tidak bisa berlama-lama di Bukitinggi. Sekitar pukul 2 siang kami sudah ke terminal nyari bus buat ngelanjutin perjanan selanjutnya. Padahal masih banyak tempat-tempat bagus yang belum dikunjungi, seperti museum Bung Hatta, Ngarai Sianok, tembok besar ala Bukittinggi yang bernama Janjang Koto Gadang, dan tempat-tempat lainnya. Semoga lain waktu bisa ke Bukittinggi lagi. Amiiin. ?


Patung Bung Hatta di taman Istana Bung Hatta
Note:
1.    Jangan salah nulis nama kota yang satu ini, soalnya kalo diberi spasi atau ditulisnya Bukit Tinggi, maka itu bukan nama kota yang ada di Sumatra Barat tapi nama daerah yang ada di Pahang, Malaysia.
2.    Bukittinggi pernah menjadi ibukota Indonesia pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia.

Friday, July 26, 2013

Insomnia

Ya, aku hanya menapaki langkah rawan di ujung jalan bercabang
Mencari arti dari mimpi yg menggantung di setiap dahan misteri
Inikah rahasia yg tak terungkap dalam dekap tidur yg tak lelap?
Atau hanya bayangan sekejap?
Ah, itu hanya kepak sayap di antara embun yg menguap.

Tuesday, July 23, 2013

Ngebolang ke Sumatra # Palembang



Setibanya di pelabuhan Belinyu, kami sempat ngopi di sebuah warung kecil yang ternyata punya orang Palembang yang kurang lebih 6-7 tahun tinggal di Belinyu. Saya kemudian bertanya banyak tentang Palembang, karena kebetulan Palembang rencananya menjadi destinasi selanjutnya setelah Bangka. Mas tersebut (lagi-lagi saya gak nanya namanya) bercerita kalo Palembang itu daerah yang rawan.

“Pokoknya kalo nggak berani berantem jangan ke Palembang deh!” ujarnya, “apalagi di pelabuhannya, angkot dan ojeknya suka maksa. Belum lagi kalo naik ojek dan angkot seringkali dibawa muter-muter dulu kalo penumpangnya ketauan orang baru, tau-taunya pas nyampe mereka langsung minta ongkosnya gak tanggung-tanggung” tambahnya.

Cerita mas tersebut membuat saya was-was. Saya penasaran apakah teman perjalanan saya juga merasakan yang sama, tapi saya nggak mau nanya.

Beruntungnya Allah memperkenalkan saya dengan seorang @Sahabat5cm asal Palembang yang bernama @reinypaulus, walaupun saat itu belum ketemu di dunia nyata. Saya pun mengabarinya beberapa hari sebelum keberangkatan untuk minta bantuan ketika saya di Palembang.

“Insya Allah tanggal segitu aku lagi di Palembang, semoga aja kita bisa ketemu kak!” katanya saat saya chatting dengannya sembari langsung memberikan nomor handphonenya. @reinypaulus saat ini sedang melanjutkan studinya di Jogja dan kebetulan dia lagi liburan di Palembang.

Ada dua cara dari Belinyu ke Palembang, naik Jetfoil atau kapal ferry. Kedua-duanya via pelabuhan Mentok-Boom Baru membelah sungai Musi. Yang membedakannya adalah waktu tempuh dan ongkos tentunya. Naik ferry membutuhkan waktu kurang lebih 18 jam, sedangkan Jetfoil cuma kurang lebih 3 jam. Belum lagi jarak tempuh Belinyu-Mentok yang menghabiskan waktu 3 jam lebih. Dengan berbagai pertimbangan maka kami memutuskan untuk naik Jetfoil walau ongkosnya cukup lebih mahal dari ferry.
Jam 1 siang kami tiba di Boom Baru dan kami langsung ketemu si @reinypaulus.

“udah lama nunggu, Ren?” Tanya saya.

“nggak, baru aja nyampek waktu kakak sms” jawabnya sambil tersenyum, “kita nunggu bang Oji ya!” tambahnya.

Kami duduk tepat di depan gerbang pelabuhan sambil bercerita ngalor-ngidul tentang @sahabat5cm. Sambil bercerita, saya sedikit mengamati suasana pelabuhan. Sepertinya apa yang saya alami dan lihat berbeda jauh dari apa yang diomongin tukang warung kopi yang saya temui di pelabuhan Belinyu. Para penjual jasa angkut juga tidak maksa-maksa kalo yang ditawarin nolak.

Saat bertemu bang Oji, dia bercerita banyak tentang Palembang. Saya pun kemudian bertanya tentang kondisi Palembang yang diceritakan tukang warung kopi dan bang Oji menjawab jika kondisi itu benar adanya, tapi itu dulu, 7-10 tahun yang lalu, kalo sekarang aman-aman aja.

Sebelum keliling Palembang, bang Oji mengajak kami makan siang di restoran fast food asal luar negeri yang cukup terkenal di Indonesia. Dia sendiri bekerja di sana dan menempati posisi penting, bahkan mengurusi semua cabang yang ada di Sumsel dan Sumbar. Hebat. Setelah itu kami langsung pergi ke PO Bus untuk memesan tiket ke Bukittinggi.

Seperti kota-kota besar lainnya, Palembang juga mengalami yang namanya macet. Bahkan kata bang Oji, kalo sudah jam 5 sore, jalanan begitu padat. Saking macetnya perjalanan yang biasanya ditempuh 30 menit bisa menghabiskan waktu berjam-jam. Ya, sama seperti di Jakarta dan sekitarnya.

Bareng dua orang hebat, bang Oji dan Reiny Paulus.
Jika di Belinyu kami mengunjungi wisata-wisata alam, kalo di Palembang yang ada hampir semua yang saya kunjungi adalah wisata budaya dan olahraga, seperti makam raja-raja Sriwijaya, jembatan Ampera, benteng Kuto Besak peninggalan zaman penjajahan Belanda, Jakabaring Sport City yang di dalamnya ada stadion Brawijaya dan Wisma Atlet; gedung bermasalah yang akhir-akhir ini jadi perbincangan hangat di negeri ini.
Jakabaring Sport Center.
Untuk urusan kuliner, pastinya Palembang tak bisa dipisahkan dengan yang namanya mpek-mpek. Pengunjung tinggal milih, dari mpek-mpek kelas artis sampai mpek-mpek kelas kaki lima, semua ada (namanya juga gudangnya mpek-mpek, hehe). Tapi ada wisata kuliner yang unik, yaitu warung terapung. Warung-warung ini menyediakan aneka makanan dan minuman yang disajikan di atas perahu di atas sungai Musi.
Warung Terapung sungai Musi


Monday, July 22, 2013

Ngebolang ke Sumatra # Bangka

Pantai Penyusuk
Setelah tertunda setahun lebih, akhirnya rencana berpetualang ke pulau Sumatra terlaksana. Pada awalnya kami terdiri dari tiga orang; saya, dosen saya, dan adik kelas saya, namun hingga waktu yang ditentukan, adik kelas saya memutuskan untuk tidak ikut dengan beberapa alasan. Tanpa adik kelas, kami pun akhirnya tetap berangkat.

Sebenarnya pulau Bangka tidak masuk pada list destinasi perjalanan kami. Kurangnya pengetahuan dan persiapan yang matang akhirnya mengantarkan kami ke Bangka. Pelabuhan Belinyu yang awalnya kami kira berada di Belitung ternyata berada di Bangka dan itu kami sadari setelah kami berangkat ke Tanjung Priok untuk memesan tiket sehari sebelum keberangkatan kami.

Pada pukul 17.00 WIB, kamis, 7 Februari 2013 kami sudah berada di pelabuhan Tanjung Priok. Namun kami tidak langsung berangkat berlabuh setibanya di pelabuhan. Ya sesuai dengan jadwal yang tercantum di tiket, yaitu pukul 17.00 WIB (Waktu Insya Allah Bergeser). Butuh waktu kurang lebih 7 jam baru kami benar-benar berangkat.

Beberapa hari sebelum berangkat, teman saya yang sebelumnya pernah ke Manado via pelabuhan Tanjung Priok mengingatkan saya “hati-hati kalau di kapal, banyak calonya!”. Saya pun penasaran kok bisa di kapal banyak calonya.

“iya, di sana dek dicaloin dan calonya mainnya gerombolan gitu. Calonya itu nggak kayak calo-calo di terminal ato stasiun. Kalo terminal ato stasiun kemungkinan untuk menolak kalo gak sepakat ato menghindar itu lebih gampang. Dan mereka mainnya itu malak korban. Jadi kalo udah masuk kapal, jangan langsung nyari dek kalo bingung, tunggu aja di bagian belakang. Kalo ada yang nanya-nanya gak usah dijawab. Kalo kapal udah berangkat baru masuk ke dalem” Jelasnya.

Jujur, penjalasan temen saya membuat saya sedikit khawatir. Apalagi apa yang dia jelasin, yang begitu banyak kalo-kalonya, nggak membuat saya bener-bener ngerti, khususnya bagian belakang yang dia maksud. Penyebabnya tentu karena ini pengalaman awal saya melakukan perjalanan jauh menggunakan kapal.

Apa yang temen saya ceritakan ternyata benar adanya. Saat kami memasuki kapal, kami melihat ada gerombolan orang yang tiba-tiba narik beberapa penumpang dan nganterin mereka ke dek kosong (baca: belum ditempati). Setelah itu, mereka meminta bayaran dangan cara membentak-bentak penumpang tersebut. Tentunya penumpang tersebut merasa ketakutan untuk melawan, karena yang dihadapinya bukan sendiri, tapi tiga sampai lima orang. Akhirnya, si penumpang pun dengan tangan gemetar dan keringat dingin menyerahkan beberapa uang yang jumlahnya bisa sampai ratusan ke orang-orang tersebut.

Perasaan kasian pada penumpang yang jadi korban pemalakan tiba-tiba muncul, bercampur dengan perasaan geram terhadap para pemalak. Namun apa daya, saya tak mampu berbuat apa-apa terhadap kejadian yang terpampang jelas di depan mata saya. Yah, inilah potret kehidupan rakyat Indonesia yang katanya negerinya kaya-raya tapi masih ada rakyatnya yang ‘harus’ hidup dengan cara begituan. Ini pelajaran kedua yang saya dapati pada petualangan ini, selain molornya jadwal yang sampai berjam-jam.
Untungnya kami bertemu dengan seorang bapak-bapak pedagang sepatu (saya lupa namanya) yang juga naik kapal yang sama. Beliau sudah tujuh tahun bolak-balik Tanjung Priok-Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Selain itu, kami juga bertemu dengan seorang mas-mas (saya lupa nggak nanya namanya) yang juga baru pertama kali naik kapal via Tanjung Priok. Kamipun meminta bapak tadi untuk menjadi ‘pemandu’ sekaligus bodyguard kami :D dan Alhamdulillah kami terhindar dari ‘pemalakan’ para calo-calo kapal.
 
Dua orang temen seperjalanan kami
Perjalanan Tanjung Priok-Belinyu ditempuh selama tiga hari. Selama itu saya memperhatikan banyak hal yang perlu dibenahi oleh negeri ini (khususnya pemerintah) tentang pelayanan publik. Sepertinya, jaminan rasa aman kurang benar-benar diperhatikan. Hal itu bisa dilihat dari tidak adanya pengawasan baik dari pihak kapal maupun pihak yang berwajib. Selain itu, praktek monopoli di atas kapal sangat terasa. Harga barang-barang yang dijual begitu mahal, tiga hingga lima kali lipat. Bahkan kasur yang seharusnya (kata temen saya) gratis juga ‘dijual’. Fasilitas yang disediakan pihak kapal juga jauh dari kata layak, seperti toilet. Toilet yang ada sudah tak jelas bentuknya. Bahkan saya harus mandi pada waktu tengah malam karena kalo saya mandi pada sore atau pagi hari saya akan sangat kerepotan, satu tangan saya memegang sabun dan tangan yang lain harus memegang pintu yang tak bisa ditutup jika tak dipegang. Balum lagi makanan yang disediakan pihak kapal yang menurut saya jauh dari kata layak. Entahlah, apa ini hanya kebetulan saya dapet kapal yang kurang bagus.

Pukul 04.00 WIB kami tiba di Belinyu. Langit masih gelap. Kami memutuskan untuk singgah di musholla deket pelabuhan sambil menunggu waktu subuh dan jemputan. Pelabuhan Belinyu terbilang pelabuhan kecil, tapi walaupun masih gelap, saat itu cukup ramai oleh kendaraan antar kota.

Berbeda dengan daerah-daerah lain, di Bangka hampir tidak ada kendaraan umum jarak dekat. Oleh sebab itu, mayoritas masyarakat Bangka memiliki kendaraan sendiri. Transportasi yang ada hanya untuk jarak jauh, misalnya pelabuhan Belinyu-pelabuhan Mentok dan Belinyu-Bandara, itu pun hanya beroperasi sehari sekali, yaitu pukul 07.00 WIB. Bahkan jasa angkut macam ojek dan becak juga tidak ada.
Untuk berkeliling tempat-tempat bagus di pulau Bangka, kami menggunakan sepeda motor teman. Uniknya lagi, selama tiga hari di Belinyu, saya baru sekali ngeliat orang make helm, itu pun yang dibonceng, bukan yang ngebonceng :D.
Bareng Gaed P. Bangka

Beruntungnya kami memiliki teman asli Belinyu yang kami baru sadari waktu kami dalam perjalanan Tanjung Priok-Belinyu. Saya pikir kami akan kesulitan untuk keliling Bangka jika kami tidak memiliki kenalan.
Di Belinyu, saya melihat kehidupan masyarakat yang begitu beragam, dari asal suku, agama, bahkan kulinernya. Keberagaman ini terlihat begitu indah. Orang-orangnya ramah dan lingkungannya aman. Bahkan saya pernah lupa meninggalkan motor di luar penginapan dengan kuncinya semalaman dan tak ada yang mengotak-atik ?.

Batu Dinding
Namun, kalo ngomongin tempat wisata, menurut saya Belinyu hampir sama dengan Belitung. Wisata di Belinyu berupa pantai dengan bongkahan-bongkahan batu besar mirip dengan pantai-pantai yang ada di film Laskar Pelangi. Konon katanya Bangka dan Belitung dulunya satu pulau dan inilah yang mungkin menyebabkan keduanya memiliki banyak kemiripan.
Pantai Romodong


Sunday, February 3, 2013

#Day17 Ngebolang 1


“450 mas,” kata si agen.
“itu H-3?” tanyaku, “kalo H-2 atau H-1?”tanyanku sebelum si agen menjawab.
“sama mas,” jawabnya

Aku diam sejenak, “kalau 450 berarti sisanya 150 dong,” pikirku “tapi kan aku nggak perlu bingung-bingung lagi dan pasti lebih nyantai,” ujar pikiranku yang lain. “nggak apa-apalah,” akhirnya bisikan-bisikan pikiranku sepakat.

“Tapi semua udah habis, mas, sampe H+5” ujar sang agen seblum aku bilang kalau 450 bukan masalah.

Akhirnya ku langkahkan kakiku untuk bertanya ke tempat lain, namun semua jawaban sama, habis.
“hmmm…. Ngebolang nih jadinya. Nggak ada pilihan lain,” tegasku dalam hati.

Karena belum pernah ngebolang Jakarta-Madura, dua hari sebelumnya aku nyoba buat ngumpulin informasi baik dari temen-temen maupun internet. Alhasil, akhirnya rute yang aku pilih adalah Bekasi-Cirebon, Cirebon-Semarang, Semarang-Surabaya, dan Surabaya-Madura.

Dari informasi yang aku dapat, tempat yang harus aku waspadai adalah terminal Cirebon. Soalnya di terminal tersebut katanya terkenal akan calonya. Selain itu aku pikir tak ada masalah kecuali Semarang. Di semarang ada dua terminal dan aku nggak tahu bis yang dari Cirebon berhenti di terminal yang mana.

Akhirnya ku putuskan berangkat setelah Jum’atan. Menurut perkiraanku, Sabtu sore aku sudah di rumah, dan aku masih sempet buka bareng sama keluargaku sebelum besoknya lebaran. Namun, perkiraanku ternyata meleset. Beberapa kilometer sebelum pintu keluar Cikopo jalanan cukup macet. “Sepertinya malem Minggu baru nyampe rumah,” pikirku.

“yang Cirebon, yang Cirebon,” tiba-tiba teriak kondektur jurusan Cirebon masuk ke bis yang aku tumpangi mencari penumpang.

Tanpa pikir panjang aku pun langsung keluar dan ku lihat bis jurusan Cirebon tidak jauh dari bis yang aku tumpangi. Setelah masuk ke dalam, aku pun begitu kaget karena ternyata penumpang yang ada dalam bis begitu banyak yang berdiri. Aku pun tetap memutuskan untuk ikut bis tersebut karena nggak mungkin aku diam di jalan tol menunggu bis Cirebon yang lebih longgar.

Tidak lama kemudian bis Cirebon (aku lupa nama bis yang sebenarnya) bergerak perlahan dan akhirnya keluar dari Cikopo. Saat itu jam menunjukkan pukul 4 lebih. Namun saat nyampe di Cikampek, jalanan begitu macet. Saking macetnya bis yang aku tumpangi baru bisa bergerak cukup lancar pada pukul 11 malam. Itu pun hanya untuk beberapa saat.

Saat nyampe di Indramayu kira-kira Subuh dan ku lihat jalanan juga macet melebihi macetnya jalanan di Cikampek. Jalur jalan yang seharusnya dua arah, menjadi satu arah. Kendaraan dari arah berlawanan pun nggak bisa gerak. Terlebih setelah para pemudik yang menggunakan sepeda motor dan bemo mulai bermunculan. Jalanan bener-bener terlihat tak karuan. Asap dan debu yang beterbangan pun memperparah kondisi jalanan. Pukul tiga sore akhirnya bis Cirebon nyampe di terminal Cirebon. Perjalanan yang seharusnya hanya enam jam menjadi 24 jam.

Sesampainya di Cirebon aku pun mencari bis jurusan Semarang. Dan Alhamdulillah jalanan Cirebon-Semarang cukup lancar. Sampai di Semarang kira-kira pukul 8 malam. Dan aku mulai khawatir karena sepertinya aku sampai di rumah setelah sholat Id. Sesampainya di Semarang, di terminal lama, tanpa kesulitan aku dapat bis jurusan Surabaya. Aku pun cukup lega dan berharap masih ada bis jurusan Madura saat aku sampai di sana. Bis Semarang-Surabaya pun berangkat pukul 9an malam dan menurut kondektur akan nyampe di Surabaya pukul sekitar pukul 2 pagi. Benar saja, jam 2 pagi lebih bis nyampe di Surabaya.
“Madura, Madura, terakhir, terakhir,” teriak kondektur bis Madura di terminal Bungurasih Surabaya.

Aku pun lekas-lekas naik bis tersebut. Menurutku bis yang ku tumpangi akan nyampe di terminal Pamekasan kira-kira jam 6 pagi atau jam 7, lebih cepat dari biasanya, karena jalanan cukup lengang pada saat dini hari. Itu artinya aku bisa ikut sholat Id di Masjid deket terminal. Namun ternyata perkiraanku meleset lagi. Saat ku pijakkan kakiku di terminal Pamekasan, ku dengar sayup-sayup suara imam masjid sedang mengimami sholat Id.

“Gak sholat Id nih,” pikirku. Aku pun duduk istirahat menunggu jemputan datang.