Pages

Monday, May 28, 2012

#Day 30: Suara Itu

Suara itu…

Terdengar ramai tapi tak semua mendengar,

Suara itu….

Bukan lagu,

tapi pengingat kalbu yang dirundung pilu atau dibelai rindu,

Suara itu…

Entahlah,, sepertinya ia hanya sekedar suara tak bermakna,

Lalu, suara apa itu?

Suara itu….

Bukan suara terompet sangkakala,

Bukan pula suara malaikat pencabut nyawa,

Suara itu penenang jiwa pelepas dahaga,

Penghapus resah gundah gulana,

Jua derai air mata, bagi yang menghampirinya

Suara itu….
 
Semoga tetap terdengar walau tak ada yang mendengar.

#Day 29: Prediksi

Dua hari lagi #30HariBlogging akan sampai pada titik terakhir. Nah, dengan itu maka saya akan memprediksi apa yang akan mereka posting atau setidaknya kalimat apa yang akan muncul dipostingan ketigapuluh mereka. Berikut prediksi saya:
1.    Topik yang akan dibicarakan pastinya mengenai #30HariBlogging yang akhirnya usai.
2.    Postingan terakhir akan berisikan tentang perasaan plong setelah akhirnya mampu menyelesaikan #30HariBlogging
3.    Postingan akan berisikan tentang suka-duka dalam perjalanan #30HariBlogging
4.    Dalam postingan akan ada beberapa kalimat seperti berikut ini “Alhamdulillah ya, akhrinya kelar juga #30HariBlogging”, “Tidak terasa #30HariBlogging sudah di hari terkhir”, atau kalimat-kalimat lain yang biasanya diucapkan pada akhir sebuah event atau kegiatan.
5.    Bagi yang belum kelar tanggal 30, dalam postingan ketigapuluh mereka aka nada kalimat permintaan maaf karena ternyata mereka belum mampu menyelesaikan sesuai rencana.
6.    Akan ada postingan yang nyinggung-nyinggung tentang jalan-jalan sehabis #30HariBlogging.
 
Saya yakin prediksi saya tepat, setidaknya prosentasenya 85%. Dengan catatan, prediksi ini tidak dibaca oleh para anggota #30HariBlogging hingga postingan terakhir mereka dipublished. Jika prediksi ini dibaca, maka prosentasenya menjadi turun drastis 35% bahkan hingga 5%.

#Day 28: Isi atau Gadget?

Bagi saya, blog merupakan tempat yang menyenangkan di dunia maya untuk dikunjungi. Kenapa menyenangkan? Karena blog menyediakan begitu macam wadah untuk kita berkreasi sekreatif mungkin. Blog bisa digunakan untuk menyebarkan informasi, promosi, menuangkan curahan hati, menuangkan karya tulis ilmiah atau non-ilmiah, dan sebagainya. Bahkan mengatur layout dan mengotak-atik HTML juga merupakan kegiatan yang menarik di dunia blog.
Ada yang berpendapat bahwa semestinya yang harus diperhatikan adalah isi dari blog itu sendiri, tentunya isi yang dimaksud adalah tulisan atau informasi. Ada pula yang lebih suka merancang blognya sedemikian rupa dengan dibubuhi berbagai macam gadget, bahkan saking begitu sukanya dengan gadget-gadget, blognya hanya berisikan gadget-gadget. Bagi saya kedua-duanya penting, dan kedua-duanya harus ada. Jika isinya hanya gadget saja, maka tidak akan ada informasi yang bisa didapat oleh pengunjung, dan jika isinya hanya tulisan saja maka potensi membosankan akan lebih besar.
Namun, yang lebih penting adalah bagaimana menjadikan blog kita terkesan menarik. Setidaknya menarik buat kita yang punya blog. Jika tidak menarik, maka tidak akan ada pengunjung yang akan mengunjungi blog kita, karena pada dasarnya, pemilik blog ingin mendapatkan banyak pengunjung, dan kita sebagai pemilik blog akan malas-malasan mengisi blog kita sendiri.
Semenjak blog ini saya rancang  sedemikian rupa dengan cara memilih tamplate yang saya suka, dan kemudian saya bumbuhi dengan gadget-gadget, saya cukup sering berlama-lama melihat-lihat blog saya. Walaupun kadang hanya sekedar menjalankan kursor saja. Saya menemukan keindahan tersendiri saat melihat blog saya terutama saat menjalankan kursor yang kemudian diikuti oleh taburan warna bintang-bintang. Seolah-olah taburan bintang-bintang di ujung kursor menjadi pengganti bintang-bintang yang cukup susah saya nikmati di dunia nyata. Apa lagi warna-warna taburan bintang-bintang tersebut bisa diganti-ganti kapan saja saya mau.
Namun yang perlu menjadi catatan dalam pemilihan gadget blog adalah pilihlah gadget yang tidak memberatkan blog saat dibuka. Walaupun isi blog menarik dan gadgetnya pun menarik tapi jika gadgetnya memberatkan blog saat dibuka, maka blog tersebut tidak akan benar-benar bisa dinikmati.

#Day 27: Pepatah Bermasalah 2

Maaf Sebelumnya jika judulnya terlalu arogan atau terlalu-terlalu yang lain. Bukan maksud untuk menyalahkan atau tidak menghargai pencipta pepatah-pepatah yang aku sebutkan, toh aku juga tidak menyalahkan, tapi sekedar mempermasalahkan. Mempermasalahkan bukan berarti menyalahkan, karena bisa jadi yang aku anggap bermasalah karena belum aku temukan titik yang tidak bermasalah. Tapi untuk saat ini aku masih menganggap papatah yang aku sebutkan pada postingan sebelumnya, memang bermasalah (sekali lagi bukan salah).
Setelah beberapa kali merenungkan permasalahan tentang pepatah, aku mendapatkan dua kesimpulan bahwa pertama, pepatah bermasalah karena kalimat pepatah tersebut secara logika berlawanan dengan maksud dari pepatah itu sendiri. Untuk yang jenis ini, contoh-contohnya sudah aku sebutkan pada postingan sebelumnya. Kedua, karena pepatah tersebut dipatahkan oleh pepatah yang lain. Untuk kasus ini bisa dilihat dalam contoh pepatah (sebenarnya juga ada dalam postingan sebelumnya) yang mengatakan “Hiduplah seperti lilin, dia rela hancur demi menerangi sekitarnya” dan dipatahkan dengan pepatah lain yang mengatakan “Berkorbanlah, tapi jangan jadi korban!”
Dan ternyata pepatah yang bermasalah itu tidak hanya pepatah-pepatah Indonesia saja. Papatah bahasa Inggris juga bermasalah. Pepatah bermasalah tersebut aku temukan dari update-status temanku yang ternyata menganalisa permasalahan pepatah (ternyata aku ada temenya, hehe). Update-status itu berbunyi “Practice makes perfect. Nobody is perfect”. lalu ngapain harus “practice”?. Permasalahan pepatah ini bisa termasuk dalam kategori permasalahan pepatah yang kedua, yaitu pepatah satu dipatahkan oleh pepatah yang lain, tetapi juga bisa dimasukkan dalam kategori yang pertama. Sebenarnya, menurutku permasalahannya bukan di kata “practice” nya tapi pada kata “perfect”nya. Tujuan dari “practice”, jika dilihat lebih dalam bukan untuk menjadi “perfect” karena “perfectness” itu sendiri tidak ada, tetapi untuk menjadikannya “habit”. Nah, ketika hal yang di “practice” itu menjadi habit, maka kesalahan-kesalahan yang sering terjadi sebelum menjadi “habit” akan berkurang, bukan “no mistakes perfectly”.

Sunday, May 27, 2012

#Day 26: Evaluasi

Sadar atau tidak, tidak atau sadar, semakin lama tanggal semakin tua,
Tanggal semakin tua tulisan semakin gak jelas rupa dan arahnya.
Entah karena tak ada inspirasi atau karena terlalu mengejar inspirasi.
Atau kerena sebentar lagi tanggal satu juni.
Tapi sepertinya semuanya pernah mengalami hal ini.
Ya, satu hal yang biasa terjadi.
Ya, sudahlah. Tulisanku yang ini aku cukupkan dulu sampai di sini.
Dari pada terlalu memaksa diri,
Dari pada malah tak bisa dimengerti,
Setidaknya tulisan ini muncul karena setetes inspirasi.
Yang muncul tiba-tiba saat sepi mengampiri,
-kok gak berhenti-berhenti? katanya sampai di sini-,
Sampai bertemu lagi di postingan yang semoga lebih berisi.
Yang bukan sekedar evaluasi..
Hihihi

#Day 25: Aku dan Tukang Becak

Di pinggir jalan, di depan warteg aku duduk ditemani segelas es teh manis dan sebatang sampoerna mild. Tiba-tiba seorang bapak-bapak datang dan duduk di sampingku.
Bapak      : Ngelamun aja! (Sambil tersenyum)
Aku          : (Membalas tersenyum)
Bapak      : Libur?
Aku          : Ya, Pak.
Bapak      : Kerja di mana?
Aku          : Kuliah Pak.
Bapak      : Kuliah di mana?
Aku          : Di Unisma
Bapak      : Udah semester berapa?
Aku          : semester delapan.
Bapak      : Dah mau lulus donk?
Aku          : Insya Allah, semoga aja lancar, doain ya Pak! (kalo urusan doa, anggap aja bapak sendiri.. he)
Bapak      : Amin…!
Aku          : Bapak sendiri kerja di mana?
Bapak      : Tuh! (sambil menunjukkan sebuah becak bertuliskan “Takdir Ilahi”)
Aku          : Oh,
Bapak      : Kuliah enak ga mas?
Aku          : Hmmm … (aku bingung ngejawabnya) ya, gitu deh Pak! (tau dah dia nangkepnya “enak” atau “gak enak”) kalau tukang becak enak gak pak? (pertanyaan yang tak perlu dipertanyakan)
Bapak      : Hmmm … (wah, pasti copy-paste nih) ya, gitu deh, Mas! (tu kan bener). Berarti sekarang lagi bikin skripsi donk?
Aku          : Ya Pak (tau skripsi juga nih tikang becak).
Bapak      : Susah gak bikin skripsi?
Aku          : Ya, lumayan, Pak. (ni pertanyaan kok semakin aneh)
Bapak      : Lebih susah mana skripsi ama jadi tukang becak?
Aku         : Glek,,, (nelan ludah, bukan nelen es teh manis, makin aneh aja nih pertanyaan) hehe… (aku cuma ketawa gak pake jawab)
Bapak     : Soalnya anak saya dulu waktu semester akhir selama berbulan-bulan gak ngapa-ngapain, nah sekali garap satu minggu udah kelar.
Aku         : Wah, hebat tuh anak bapak. Emang kuliah dimana?
Bapak     : Di Universitas sensor
Aku         : Jurusan apa?
Bapak     : Jurusan sensor
Aku         : Emang anaknya namanya sapa?
Bapak     : Namanya sensor
Aku         : Glek,,, (kali ini nelen es teh manis) uhuk, uhuk,,, (aku kaget, ternyata nama anak yang disebutin oleh bapak itu adalah anak kampus tetangga yang skrispsinya aku buatin, asal copy-paste gitu) 

Friday, May 25, 2012

#Day 24: Burn It Down

The cycle repeated,
As explosions broke in the sky,
All that I needed,
Was the one thing I couldn't find,
And you were there at the turn,
Waiting to let me know,

Chorus:
We're building it up,
To break it back down,
We're building it up,
To burn it down,
We can't wait,
To burn it to the ground.

The colors conflicted,
As the flames climbed into the clouds.
I wanted to fix this,
But couldn't stop from tearing it down.

And you were there at the turn,
Caught in the burning glow.
And I was there at the turn,
Waiting to let you go.

You told me yes,
You held me high,
And I believed,
When you told that lie.

I played solider,
You played king,
Struck me down,
When I kissed that ring.

You lost that right,
To hold that crown,
I built you up,
But you let me down.

So when you fall,
I'll take my turn,
And fan the flames,
As your blazes burn.

And you were there at the turn,
Waiting to let me know.

We're building it up,
To break it back down,
We're building it up,
To burn it down,

[We can't wait,
To burn it to the ground.
So when you fall,
I'll take my turn,
And fan the flames,
As your blazes burn. ] x2

We can't wait,
To burn it to the ground...


Lirik di atas adalah lirik single terbaru Linkin Park yang dirilis pada 15 April 2012 dari album Living Things. Untuk album Living Things sendiri akan dirilis pada 26 Juni 2012. Just check this song out here !. I love it so much and I think you do too. 

Dan berikut daftar lagu dari album Living Things:

1. ‘Lost in the Echo’
2. ‘In My Remains’
3. ‘Burn It Down’
4. ‘Lies Greed Misery’
5. ‘I’ll Be Gone’
6. ‘Castle of Glass’
7. ‘Victimized’
8. ‘Roads Untraveled’
9. ‘Skin to Bone’
10. ‘Until It Breaks’
11. ‘Tinfoil’
12. ‘Powerless’

#Day 23: Dia Anakku

Tangismu terdengar samar-samar
Membelai mimpi indah sang fajar
Kau meminta berjuta cerita suka
Bergelora di setiap rongga dada
Ya, dada, dadaku
Walau berat beban di matamu
Kau tetap bertahan dengan bibir basahmu
“dia anakku” sebutmu
Aku mendengkur tidur di ujung sana
Buta kata-kata cinta
Yang kau untai ke kolong langit ke tujuh
Dan aku acuh
Tapi kau tak peduli aku peduli
Kau tak meminta aku mendengar
Setiap bait doa yang kau tebar
Kau hanya ingin memberi
walau hanya dengan sujud  di atas tikar yang tak lebar
“Tuhan, dia anakku” sebutmu

Tuesday, May 22, 2012

#Day 22: Sang Cermin

Di depan cermin ia berdiri, menatap setiap guratan usia yang semakin lama membuatnya semakin tua. 
“Ah, aku masih muda” katanya sambil sedikit tersenyum “Benar kan?” Tanyanya kemudian pada cermin.
Cermin hanya diam tak berkata, bukan takut tuk menjawab tapi diamnya adalah jawaban. Jawaban antara tidak dan ya. Cermin menjawab dengan jawaban jujur, hanya saja jawaban-jawaban itu harus ia susun kembali menjadi satu jawaban yang utuh sehingga ia bisa mengetahui apa sebenarnya jawaban sang cermin.
Namun, ia masih belum mampu menyusun jawaban-jawaban tersebut, atau ia sudah menyusunnya namun ia belum yakin dengan jawaban sang cermin.
Kemudian ia menyisir rambutnya yang panjang agar terlihat rapi. Mengoleskan cream anti-aging di setiap sudut wajahnya dan tak lupa beberapa goresan lipstik yang ia beli di sebuah kota yang terkenal akan kosmetiknya beberapa bulan yang lalu. Ia berdehem dan berdiri lagi di depan cermin.
“Sekarang bagaimana?” tanyanya serius
Lagi-lagi, cermin warisan dari kakek kakeknya tersebut tak bersuara. Diam seperti adanya. Dan lagi ia harus menyusun kepingan-kepingan diam sang cermin menjadi satu jawaban yang bersuara, ya atau tidak.
Kepingan-kepingan itu terlalu banyak baginya, ia tak benar-benar bisa menyusunnya. Ia kemudian berjalan keluar kamarnya menuju balkon yang menghadap tempat di mana mentari kembali ke peraduannya. Ia menghela nafas panjang sembari membelai daun-daun bunga jasmin yang menjalar lebat di pagar balkon. Ada butiran-butiran sisa air hujan yang menetes dari daun-daun yang ia sentuh. Kemudian ia tersentak dan kembali ke kamarnya.
Sambil membawa gunting ia pergi ke kamar mandi. Ia membersihkan semua hasil make-up yang ia oleskan dan memendekkan rambutnya. Setelah itu ia pun kembali berdiri di depan cermin di kamarnya.
“Bagaimana kalau sekarang?” tanyanya lagi
Dengan jawaban yang sama, cermin itu diam dalam jawabnya, menjawab dalam diamnya.
Ia pun mengambil cermin yang setinggi setengah dari tingginya tersebut dari tempatnya. Menatapnya dengan tatapan tajam dan kemudian menggoncang-goncangkannya.
“Berikan jawaban yang aku mengerti, berikan jawaban yang bisa aku pahami, jangan hanya diam!” teriaknya pada sang cermin. Dan cermin pun tetap diam.
Dan ia pun melemparkan cermin tersebut ke sudut kamarnya.
Suara pecah cermin akhirnya memberikan jawaban. Tapi tetap saja, jawaban itu tak jelas karena setiap pecahan memberikan jawaban masing-masing yang membuatnya semakin pusing dan harus berkeliling mengumpulkan jawaban-jawaban yang berserakan bersama dengan berserakannya pecahan-pecahan cermin tersebut.
Ia pun duduk, tertunduk. Ia lelah. Namun akhirnya ia berdiri lagi menghampiri pecahan-pecahan cermin yang berserakan. Mata manisnya memandangi setiap pecahan kaca. Ia pun mengambil satu pecahan cermin seukuran tangannya yang tepat berada di bawahnya. Ia memandanginya, bercermin dengannya.
“Aku sudah tua,” bisik sang pecahan cermin.




#Day 21: Angin Malam

Angin malam
Kau masih terasa walau ku terpejam
Bersulam kelam tanpa bintang
Tanpa dengung kumbang-kumbang
Angin malam
Dinginmu tak membuatku kelu
Karena kau bukan sembilu
Bukan pula perasaan semu
yang menipu

Duhai angin malam
Cahaya pelukmu bak temaram
Sejuk walau tak terang
Indah walau tak dapat ku pandang

Duhai angin malam
Jika pagi menjelang dan siang pun datang
Ku harap kau tak menghilang
Dan kembali memeluk diriku yang gersang

Monday, May 21, 2012

#Day 20: Memori Tentang Seorang Sahabat

Ya, aku masih ingat betul caramu berbicara, dengan logat Jawa yang khas walaupun sebenarnya kau bukan orang Jawa. Sesekali kau berbicara dengan bahasa Jawa dan sesekali dengan bahasa Madura, dan aku mengerti keduanya.
“Hujan-hujanan yuk!” ajakmu padaku pada suatu sore.
“Ayok!” jawabku
Kita pun berlarian di atas pematang sawah di belakang kosan. Ya, hanya kita berdua, tak ada yang lain, karena kita berdua yang merasa begitu dekat di antara penghuni kosan yang lain, hampir tak ada batas. Satu kebiasaan yang tak pernah aku temukan di masa sesudah dan sebelum itu adalah ketika kita makan di warung, siapa yang selesai duluan makan dia yang bayar, tanpa ada kesepakatan tanpa ada rasa keberatan, hal itu mengalir begitu saja.
“Jieb, habis lulus kursus kamu mau ke mana?” tanyamu, setelah puas berputar-putar dan hujan sudah tak deras lagi.
“Aku pulang dulu, Ta” jawabku “mau nyaiapin persyaratan ngambil ijazah, ijazahku belum diambil. Habis itu aku pingin kuliah, mungkin ke Jakarta. Emang kamu mau ke mana?” tanyaku balik.
“Aku kayaknya tetep di sini, mau kursus lagi. Tapi aku mau balik dulu” jawabmu
Walau kita berdua sebenarnya beda kursusan, tapi Tuhan menakdirkan kita bertemu di satu kosan. Dan pertemuan denganmu menjadi satu kenangan yang tak kan terlupakan.
Enam bulan tak terasa, kita pun harus berpisah. Tapi enam bulan bukan waktu yang sebentar bagiku untuk merajut kisah persahabatan denganmu. Dan pada waktu itu kau pulang lebih dulu. hanya aku satu-satunya yang mengantarkanmu menunggu bis jurusan Surabaya.
“Aku punya hutang gak?” tanyaku “kalau punya hutang tapi aku lupa, ikhlasin yak!” kataku sambil sedikit tertawa.
“Gak ada kayaknya” jawabmu
Aku ingat, di antara kau dan aku yang paling sering ngutang itu aku, haha… ya, aku ingat itu, karena sampai sekarang pun aku tak pernah ingat kau pernah pinjam uang padaku.
Kawan, aku ingat semua. Ingatanku tentang persahabat kita bahkan tak mampu aku susun dalam rangkaian kata-kata yang sempurna, terlalu indah untuk diungkapkan dengan kata-kata, karena aku hingga kini belum pernah mendapatkan seindah persahabatan yang pernah kita punya. Indahnya persahabatan itu pun bahkan berlanjut hingga kita tak lagi bersama. Seringkali kau menelponku, menanyakan kabarku, bahkan sekedar bercerita kembali tentang masa-masa bodoh kita waktu di kosan.
“Kamu lagi di mana?” Tanyaku saat kau menelponku
“Lagi di atas jembatan” jawabmu
“Di atas jembatan malem-malem gini? Ngapain?” tanyaku lagi “awas kesurupan lho!
“hehe… jalan-jalan Jieb, sumpek di rumah terus” jawabmu “tau gak Jieb, sebenarnya aku ada jinnya?”
“terus kalau udah tau ada jinnya ngapain main di jembatan malem-malem gini?” tanyaku heran.
Dan kaupun bercerita bahwa kau sudah beberapa minggu sering kesurupan. Aku sedikit bergidik mendengarnya. Tapi suaramu tak menunjukkan adanya perasaan takut, seolah-olah kesurupan merupakan hal yang biasa buatmu.
“Udah pulang aja cepetan!” saranku padamu setelah bercerita panjang lebar.
Kawan, jika kau tahu ada satu penyesalan yang amat dalam yang sampai saat ini aku benar-benar merasa bersalah padamu.
“Jieb, punya nyanyian bahasa Inggris gak buat anak-anak, nih adekku minta lagu bahasa Inggris” suatu hari saat kau menelponku lagi.
“Ada Ta, entar aku cari dulu ya! tapi jam 3-an ya kamu telpon lagi, aku lagi dikampus” jawabku
Dan saat jam tiga kau pun menelponku, dan samar-samar terdengar suara adekmu di sana.
“Gimana Jieb, ada gak?” tanyamu
“Ada Ta” jawabku “tapi gimana nih caranya? Masak aku nyanyi gitu ngajarinnya? Kayaknya susah deh kalau via telpon” tambahku panjang lebar
“Susah ya Jieb?” tanyamu saat itu tanpa sedikitpun memaksaku untuk mencari cara agar adikmu bisa aku ajarin lagu-lagu bahasa Inggris yang sebenarnya telah aku janjikan.
Bodoh, kawan… aku benar-benar bodoh, aku egois kawan. Apa susahnya sih ngajarin lagu bahasa Inggris via telepon? Tak susah sebenarnya kalau aku mau. Dan aku menyesal kawan. Seandainya kau menelponku lagi dan memintaku untuk mengajarkan adikmu lagu-lagu bahasa Inggris, akan aku lakukan kawan, hingga benar-benar habis kumpulan lagu-lagu bahasa Inggris yang aku punya.  Maafkan aku, maafkan aku kawan!
Tapi maafku, penyesalanku percuma…
Berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan kau tak lagi menghubungiku. Tiba-tiba suatu hari aku merasa ada yang hilang, merasa ada yang janggal bersamaan dengan suara dengungan di telinga kiriku. Aku mencoba tak mengubrisnya. Tapi tiba-tiba aku teringat dirimu! Dan aku pun tiba-tiba ingin menghubungimu.
“Halo, assalamu ‘alaikum” sapaku saat nomor hapemu terangkat.
“Alaikum salam” jawab seseorang di sana. Jawaban itu membuatku merasa aneh, itu bukan suaramu, itu suara seorang perempuan yang tak pernah aku dengar sebelumnya.
“Maaf ini siapa ya?” tanyanya
“Ini Mujib, Bu!” jawabku “Temennya Fata, Fatahnya ada bu?” tanyaku
“Fata, mas?” tanyanya padaku yang membuat aku semakin heran “Wah, Fatahnya udah gak ada mas, udah satu bulanan yang lalu.”
Tiba-tiba tenggorokanku terasa kering seketika, dan aku pun sepertinya tak bisa merasakan detakan jantungku.
“Gak ada gimana ya, Bu?” aku masih bertanya
Ibu itu pun memberikan beberapa penjelasan padaku tentang dirimu kawan. Aku berusaha mendengarkan semuanya, dan akhirnya aku paham bahwa kau benar-benar tak ada. Ya, benar-benar tak ada, untuk selamanya. Dan kau tahu kawan? Aku pun menangis, menangisi semua cerita indah tentang kita kawan, cerita indah yang hanya menjadi kenangan yang tak bisa lagi kita bicarakan dan kita ingat bersama dan kemudian dengannya kita tertawa. Dan kau tahu kawan? Akupun menyesali dan menangisi keegoisanku yang di saat kau sakit pun aku tak tahu. Tapi apakah kau di sana tahu bahwa aku menyesal? Bahwa aku merasa begitu kehilangan? Sangat kehilangan. Karena sampai sekarang pun aku belum menemukan seorang sahabat sepertimu. 
Kawan, aku akan selalu ingat kawan, semuanya, hingga senyuman dan pelukan terakhirmu saat ku mengantarkanmu pulang tiga tahun yang lalu.


Sunday, May 20, 2012

#Day 19: Pepatah Bermasalah

Kenal ama yang namanya pepatah kan? kenal donk, masak gak kenal. Itu lho, pepatah pohon kelapa, pepatah pohon kurma. Itu pelepah.  Gikssss....

Pepatah itu istilah yang digunakan untuk menggambarkan sebuah kondisi, tindakan, nasehat, atau sifat seseorang dengan kalimat perumpamaan. Pepatah juga dikenal dalam kata lainnya peribahasa.

Ngomong-ngomong soal pepatah, seringkali kita mengambil atau menelan pepatah secara mentah-mentah. Padahal kalau kita perhatikan baik-baik, ternyata ada beberapa pepatah yang "aneh". Maksudnya aneh begini, ada perumpamaan-perumpamaan yang menurutku dipaksakan, atau justru menganjurkan pada kondisi yang sebenarnya terbalik, bingung ya? Ok, kalau bingung mendingan langsung aja kita melihat beberapa pepatah yang menurutku "aneh".

1. Habis manis sepah dibuang. Pepatah ini sering digunakan untuk orang yang hanya diaggap ketika bisa dimanfaatkan saja, ketika tidak dimanfaatkan lagi biasanya orang tersebut tidak lagi dianggap. Sekilas memang ada kesamaan kondisi antara orang yang sudah tidak dianggap dengan sepah yang dibuang. Tapi, kalau diperhatikan labih jauh lagi akan terkesan penggunaan sepah untuk menggambarkan orang yang sudah tidak dianggap, menurutku, terlalu dipaksakan. Kenapa terlalu dipaksakan? gini lho, emang sepah kalau sudah gak ada manisnya mau diapain lagi? mau dikunyah? mau dibikin kue? ya, sepah kalau udah ga manis lagi harus dibuang. Ini beda jauh ama orang yang gak dianggap, permasalahannya bukan di orang yang gak dianggap tapi di orang yang gak mau nganggap.

2. Hiduplah seperti lilin, dia rela hancur untuk menerangi sekelilingnya. Ini nih, udah disuruh jadi lilin yang penerangannya gak terang amat, habis itu hancur lagi. Kalau udah hancur gimana mau nerangin lagi coba? mendingan jadi matahari, udah cahayanya gak ada tandingannya, manfaatnya dinikmatin seluruh isi alam, bisa jalan-jalan lagi muter-muter dunia. Beda ama lilin, kalo udah ditaroh, dia gak bisa ke mana-mana. Mending kalau ditaroh di tempat yang bagus, coba kalau ditaroh di WC pas mati lampu,,, "Hmmm seronoknya!" kata Upin & Ipin. Kalau aku sih lebih setuju ama pepatah yang bilang "Berkorbanlah! tapi jangan jadi korban"

3. Hiduplah seperti air, walaupun ada bebatuan di depannya ia tetap mengalir apa adanya. Kalau menurutku, hidup itu jangan kayak air, walaupun dia bisa terus mengalir dia itu hidup gak punya pilihan. Hidup dia hanya mengalir ke hilir gak bisa ke hulu. Itupun dia bisa ngalir kalau kuantitasnya banyak, coba dikit, boro-boro ngalir, dia udah diserep duluan ama bumi, kalo gak menguap ilang entah ke mana. Yah, bolehlah hidup kita mengalir, tapi ngalirnya jangan kayak air, mengalir tapi kita bisa mengendalikan aliran hidup, kalau mau ke hulu, ya ke hulu, kalau mau ke hilir, ya ke hilir. Kalau misalnya waktu ngalir terus ada batu di depan kita ngapain harus ditabrak kalau bisa ngehindar.

4. Kacang lupa kulitnya. Ini nih, pepatah yang menurutku paling aneh, emang sejak kapan ya kacang punya ingatan kok bisa lupa? ini kan perumpamaan, namanya personifikasi, kan sama aja kayak "daun itu melambai-lambai". Wah, yang ini beda, beda jauh. Kalau yang "daun itu melambai-lambai" personifikasinya jelas, maksudnya daun itu emang bergerak-gerak seolah-olah melambai-lambai. Kalau yang kacang, "kelupaannya" dilihat dari mananya?


Saturday, May 19, 2012

#Day 18: Three Conditional Sentences

If the world had no sun
We would have no some fun
If we live without friend
We obviously can't stand
If there were no word
There'd be no world  

Friday, May 18, 2012

#Day 17: Myths and Facts on 17

Karena postingan ini merupakan postingan ke-17 dari #30HariBlogging, maka saya akan memposting tentang hal-hal yang berkaitan dengan angka 17, dan berikut ini merupakan fakta-fakta dan mitos-mitos menarik di balik angka dan tanggal 17:
1.   Al-Quran diturunkan pada tanggal 17 Ramadan
2.   Peringatan Isro' Mi'roj jatuh pada tanggal 17 Rajab
3.   Kisah tentang Isro' Mi'roj diceritakan dalam Al-Quran di surat ke-17 (Al-Isro')
4.   Jumlah keseluruhan rakaat shalat sehari semalam adalah 17 rakaat
5.   Tanggal 17 Agustus merupakan hari kemerdekaan Indonesia. Republik Gabon juga hari kemerdekaannya pada tanggal dan bulan yang sama dengan Indonesia, hanya tahunnya yang berbeda, yaitu 1960. Selain itu ada beberapa negara yang juga hari kemerdekaanya pada tanggal 17, yaitu Irlandia (Maret), Syria (April), Norwegia (Mei), Islandia (Juni), dan Korea Selatan (Juli). Uniknya jumlah negara yang hari kemerdekaannya sama pada tanggal 17 berjumlah 7.
6.   Peringatan hari kemerdekaan Indonesia yang pertama kali pada tanggal 17 Agustus 1945 bertepatan dengan  tanggal 17 Ramadan. Pada tahun 2011, tanggal 17 Agustus juga bertepatan pada tanggal 17 Ramadan.

7.   Tanggal 17 Februari 1950 merupakan hari bersejarah bagi rakyat Bekasi (pasti orang Bekasi sekarang banyak yang ga tahu), karena pada tanggal tersebut rakyat Bekasi menuntut pemerintah untuk mengubah Kabupaten Jatinegara menjadi Kabupaten Bekasi.
8.   Angka 17 dianggap angka yang unik dan banyak orang yang menganggapnya keramat karena merupakan gabungan dari angka 1 yang berarti Maha Esa, Maha Agung, dan Maha Satu, dan angka 7. Angka 7 sendiri memiliki keunikan tersendiri karena banyak elemen-elemen di dunia ini yang tersusun dan terbentuk dalam 7 jumlah, seperti 7 keajaiban dunia, tujuh lapisan bumi dan langit, tujuh benua, 7 samudra, 7 hari dalam 1 minggu.  
9.   Pakar matematika Prancis Jean-le-Rond d’Alembert lahir tanggal 17 Mei 1717
10. Phobia terhadap angka 17 disebut sebagai “heptadecaphobia” atau “heptakaidekaphobia”
11.  Dalam kebudayaan Italia , 17 dianggap sebagai angka sial. Gedung-gedung di Italia tidak punya lantai 17, hotel tidak punya kamar nomor 17 , dan pesawat Aitalia (juga Bristish airway concordes) tidak punya kursi nomor 17
12.  Judul  asli lagu “I Saw Her Standing There” karya The Beatles adalah Seventeen
13.  Ketika sesorang tersenyum maka ia menggunakan 17 otot wajah yang berbeda
14.  Usia 17, kemudian sering dikenal dengan istilah Sweet Seventeen,  merupakan usia yang banyak ditunggu-tunggu para remaja di zaman ini, karena pada usia tersebut, mereka merasa akan lebih bebas dalam melakukan berbagai hal karena sudah dianggap dewasa.
15.  Usia 17 juga merupakan patokan yang digunakan oleh banyak negara untuk mewajibkan mereka memiliki Kartu Identitas Penduduk.
16.  Usia 17 adalah usia minimal bagi seseorang untuk diperbolehkan memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM)
17.  Perdana Menteri pertama Bangladesh, lahir pada 17 Mei 1920, yang terkenal bijaksana memiliki seorang titisan yang lahir di Indonesia pada 17 April (bertepatan dengan tanggal 17 Sya'ban) pada tahun 1987 dengan nama yang sama, Mujibur Rohman (haha... jangan terlalu serius bacanya)


*) Dari Berbagai Sumber

#Day 9: Manusia Sahabat Kesalahan

Percaya atau tidak semua pasti percaya (lho, mulai-mulainya kok gini) kalo manusia itu memang tempatnya salah dan lupa, baik disengaja atau tidak. Cuma Allah yang gak pernah salah ma lupa. Tahu dari mana? ya kalo soal ini mah nyari jawabannya gak perlu harus buka-buka berbagai macam referensi, tinggal tanya ja ma diri sendiri berapa kesalahan yang dah kita lakuin sehari ini ama Tuhan atau ama manusia, pasti harus mikir-mikir dulu berpuluh-puluh kali baru ketemu, itupun kalo ketemu, atau pura-pura gak ketemu. Wah, kalo pura-pura g ketemu berarti mau bikin kesalahan baru nih.

Yang pasti namanya kesalahan n lupa g bakal jauh-jauh dari kita, sekuat apapun usaha kita tetap aja kita gak bakal terlepas dari kesalahan. Ya, setidak-tidaknya kalo dah berusaha banget tuk gak berbuat salah jatuh-jatuhnya jadi kesalahan yang gak disengaja. Misalnya, saat kita lagi ngobrol terus becanda-becanda ma temen, tanpa disengaja waktu kita ngomongin sesuatu yang kita anggap becandaan ada temen kita yang merasa tersinggung. Terus itu kesalahan ga? kan itu g disengaja? Ya, kalo menurutku sih kesalahan ya tetep kesalahan yang seharusnya kita minta maaf dengan kesalahan itu. Bukan berarti kesalahan akan berubah menjadi bukan kesalahan lantaran kita g sengaja. Tetep aja kesalahan cuma kadar/derajat/level kesalahannya beda ama yang disengaja.

Berarti manusia bakal salah mulu donk? Ya, kalo menurutku begitu. Ya percuma donk kita berusaha wat gak salah kalo gitu? ya udah salah ya salah ga usah dipikirin buat ngebenerinnya. ya, bukan gitu juga kali. Kalo menurutku tetap saja yang paling berpengaruh dalam penilaian salah enggaknya itu niat dan sekuat apa kita tuk gak berbuat kesalahan. Karena lawannya salah ya bener, itu dah jelas, apa coba lawannya salah kalo bukan bener? itu udah jelas. Cuma salah dan benernya manusia itu kadang sering gak jelas. Ya, kayak yang aku contohin di atas, ada orang marah gara-gara becandaan kita, padahal niat kita becanda lho. Terus kita masih mo ngerasa bener gitu karena kita sebenernya kita ga  punya niatan wat bikin dia tersinggung? Ya kalo menurutku lebih baik minta maaf ma dia, kan bisa jadi kadar becandaan kita ma dia beda, kalo kadarnya dah salah ya hasilnya juga ga bakal bener, toh kita juga yang ngungkapin becandaannya, toh juga gak ada salahnya minta maaf.

Ya, intinya yang pertama "Lebih baik merasa salah tapi bener daripada mengaku bener tapi salah". Terus inti yang kedua mau gak mau akupun juga harus ngaku salah (wah ga ikhlas nih kok pake kata "mau gak mau"? gak, ihklas banget). Emang apa salahnya? Salahnya, aku salah ngitung jumlah postinganku, ternyata aku belum ngepost wat Day 9. Sorry ya teman-teman aku tak sengaja, jadinya Day 9 nya aku postingin sekarang.  Aku baru tahu setelah aku itung2 lagi, kok kurang satu. Eh, ternyata Day 9 gak ada. Sorry banget,,,,!!!

Oh, maksud dari tadi muter-muter cuma mo bilang ini tah? hahaha.... Ya, kalo mo dianggap gitu ku pikir gak salah, yang penting aku dah ngaku kalo aku lupa and salah ngitung, jadi aku lunasin sekalian, daripada aku punya hutang? ya gak?

Thursday, May 17, 2012

#Day 16: If Someday

If someday I'd see

You won't be with me

I would not regret

For you're not the secret


I hope you're in the flight

And the sun rises bright

so let me in the light

And I'll give you a sight

I know you have your life

and I have my own hive

so that I should agree

Everyone needs to be free

#Day 15: Sahabat Bagiku

Mau tidak mau fungsi definisi hanyalah untuk membatasi. Tanpa definisi segala sesuatu akan menjadi tak pasti. Tanpa definisi, manusia tak akan tahu mana yang kanan mana yang kiri. Dan menurutku, setiap orang bebas untuk mendefinisikan segala hal yang sebenarnya sudah terdefinisikan. Seperti kata "Sahabat" yang begitu banyak sekali orang-orang yang mencoba mendefinisikan apa dan siapa itu sahabat. Ya, "sahabat" memiliki begitu banyak definisi dengan berbagai macam versi, dari "Sahabat adalah matahari. Ia tak kan pernah pergi, sedangkan yang lain hanya sebatas pelangi", "sahabat akan selalu ada tidak hanya di saat suka, tapi juga di saat duka", hingga "Sahabat itu ibarat kencing di celana, orang lain hanya mampu melihat basahnya, tapi kehangatannya hanya kita yang merasakannya", dan masih banyak yang lainnya. Namun, menurutku setiap definisi yang dibuat tentang sahabat, semuanya menuntut (maaf, jika kata tersebut kurang pas, karena aku tak menemukan kata yang lebih pas) pada kesempurnaan, setidaknya memenuhi keinginan orang yang menginginkan seperti apa sahabat. Padahal, menurutku, sesempurna apapun definisi sahabat, sahabat tidak akan pernah sesempurna definisinya.

Bagiku, aku tak ingin mendefinisikan apa dan siapa itu sahabat. Biarkanlah sahabat mendefinisikan dirinya sendiri. Bukan karena aku tak bisa membuat definisi apa dan siapa itu sahabat, tapi yang aku mengerti, sahabat akan lebih indah tanpa terdefinisi, dia akan berwarna-warni melebihi warna-warna pelangi, sehingga dia akan muncul bukan hanya selepas gerimis.

#Day 14: Ya = Tidak

“Ya”.
“Ya”.
“Ya”.
“Ya”.
Itulah yang aku dapatkan. Pada awalnya lebih dari itu bahkan jumlahnya tak pernah aku kira, tapi akhirnya itu hanyalah sebuah jawaban. Ya, hanya sebuah jawaban, bukan sebuah harapan, bukan sebuah keinginan, sebuah kesepemahaman, apalagi sebuah kebutuhan. Sama seperti yang sekarang.
Jujur, aku tidak terbiasa dengan hal seperti ini. Bagiku “Ya” artinya setuju, sepakat, sependapat, seiya-sekata, sepemahaman, dan…. Yang pasti bukan sebuah penolakan. Tapi itu dulu, bukan sekarang, bukan di sini, bukan di tempat aku menunggu bola salju menghampiri.
Aku anggap aku cukup lama, tapi itu semua tak membuatku mampu memahami konsep-konsep yang aku temukan. Walaupun begitu, aku setidaknya tahu, setidaknya mengalami dan menjadikannya pelajaran bahwa kata “ya” yang nyaring yang aku anggap sebagai kata ya, lama kelamaan akan terdengar dan menjadi kata “tidak” pada akhir gema yang menggaung, tanpa terdengar jelas masa transisi perubahannya.
Satu pelajaran yang aku ambil bahwa jika kata “Ya” yang terdengar, janganlah menunggu hingga kata ia berubah menjadi kata “tidak”, karena tanpa ditunggupun ia akan menjadi kata “tidak” dengan sendirinya. Menunggu hanya akan membuat kekecewaan yang lebih dalam.

#Day 13: Aku Ingin Benar-benar Mencintaimu

Tuhan, jika langit-Mu Kau tutup
Dan matahari-Mu meredup
Ku harap aku masih sanggup
Mengingat-Mu, walau udara-Mu tak mampu lagi ku hirup
Tuhan, aku tahu aku tak pernah tahu
Aku mengerti aku tak pernah pahami
Setiap rencana, janji yang Kau beri
Setiap cobaan yang aku alami
Tuhan, aku hanya bisa mengeluh
Menuduh setiap pahit yang aku rengkuh
Adil-Mu padaku tak penuh
Tapi, Tuhan….
Aku masih ingin mencintai-Mu
Merindukan-Mu sepenuh hatiku
Melebihi segenap jiwaku, dengan ulur Tangan-Mu.



Tuesday, May 15, 2012

#Day 12: Khilaf

Biar remuk, remuklah sudah
Karena salah bisa tak terbenah
Entah,,, kadang susah
Walau jiwa sudah terasah
Bukan buta, bukan tak ada rasa
Tapi hanya karena khilaf bicara
Hingga setia berubah menjadi noda
Dan nista cemari cinta
Lalu,,
Yang ada tinggalah sendu
Pilu kelabu, kabut membisu
Dan langit tak lagi biru

Saturday, May 12, 2012

#Day 11: Tanya Jawab = Jawab Tanya

Aku “tak” memintamu untuk membaca tulisan ini.
Kawan, (apakah kau kawanku, setidaknya aku memanggilmu begitu) tulisan ini bukan untuk berbicara hanya dengan diriku sendiri, tapi juga denganmu. Mungkin apa yang aku tulis (bicarakan) tak mampu kau pahami karena mungkin aku tak bisa memahami bagaimana menuliskan sebuah tulisan yang bisa kau pahami, atau sebaliknya. Tapi itu bukan yang aku maksud. Yang aku maksud adalah aku ingin berbagi sebuah “pertanyaan”.
Kawan, dulu aku pernah membaca sebuah tulisan dalam sebuah buku. Tulisan tersebut adalah “meaning”, pada awalnya aku hanya mendengarnya dan tak pernah menghiraukannya, namun setelah membacanya aku mulai mencari tahu apa maksud dari kata tersebut, dan kemudian aku mengetahuinya. Tahukah kau kawan mengapa aku ingin mengetahui arti dari kata tersebut setelah aku membacanya? Padahal pada saat aku mendengarnya tak ada keinginan untuk mencari tahu.
Hmmm…. sepertinya sukar rasanya aku menjelaskannya kawan, tapi pernahkah kau bertanya pada temanmu dengan pertanyaan “apa artinya ‘what does it mean’?” atau “’what does it mean’ apa artinya?” kemudian temanmu menjawab, “’what does it mean itu apa artinya”. Ya, mungkin seperti itulah kiranya maksudku.
Maksudku begini, pertanyaan kadang muncul langsung dengan jawabannya, bahkan kadang pertanyaan itu sendiri merupakan jawaban dan jawaban merupakan/akan mengundang sebuah pertanyaan. Lalu?
Lalu mengapa akhirnya aku mengetahui arti kata “meaning”? karena setalah aku mendapati tulisan tersebut aku bertanya pada diriku tentang arti “meaning” sedangkan pada saat aku mendengarnya aku tak mempertanyakannya.
Baik, mungkin dalam uraian yang lebih simple seperti ini, Kita selamanya tak akan memiliki sebuah jawaban jika kita tak memiliki sebuah pertanyaan dan tak akan memahami apa maksud dari sebuah jawaban jika kita tak pernah menanyakannya.
Pertanyaanku sekarang, kenapa aku menulis tulisan ini dan kenapa kau mau membacanya?


#Tulisan ini aku temukan dalam laptopku di folder yang bernama "Ga Jelas"

Thursday, May 10, 2012

#Day 10: Fatamorgana

Aku hilang
Tenggelam dalam ingatan yang tak ingin ku genggam
Meringkuk, tertunduk dalam gelap malam
Terhujam kata, rasa yang kau tanam
Lalu, kemana engkau pergi?
Aku di sini menanti bukan mencari
Bukan pula menemani hari-hari tak pasti
Dan menghitung bulir-bulir embun pagi
Aku resah bukan karena kau tak berupa
Tapi karena kau hanya bayang-bayang tak bersuara
Lalu, kemana hendak ku tanya
Cerita jiwa yang dulu membahana
Menyeruak dalam indahnya seluet senja
Apakah pada dinding yang tak bergeming
Atau gemerincing baling-baling kering
Ting, ting...
Oh, aduhai....
Aku lunglai
Tak mampu menyusun setiap helai damai yang kau cerai-berai
Dan segunung harapan yang teruntai   

Tuesday, May 8, 2012

#Day 8: From The Inside

I don't know who to trust no surprise
(Everyone feels so far away from me)
Happy thoughts sift through dust and the lies
(Trying not to break but I'm so tired of this deceit)

(Every time I try to make myself get back up on my feet
(All I ever think about is this)
(All the tiring time between)
(And how trying to put my trust in you just takes so much out of me)

Take everything from the inside and throw it all away
'cause I swear for the last time I won't trust myself with you

Tension is building inside steadily
(Everyone feels so far away from me)
Happy thoughts forcing their way out of me
(Trying not to break but I'm so tired of this deceit)
(Every time I try to make myself get back up on my feet)
(All I ever think about is this)
(All the tiring time between)
(And how trying to put my trust in you just takes so much out of me)

Take everything from the inside and throw it all away
'cause I swear for the last time I won't trust myself with you

I won't waste myself on you
You
You
Waste myself on you
You
You

I'll take everything from the inside and throw it all away
'cause I swear for the last time I won't trust myself with you

Everything from the inside and just throw it all away
'cause I swear for the last time I won't trust myself with you

You
You
Bait-bait di atas bukan puisi karangan saya, tapi sebuah lirik lagu karya group musik rock terkenal mancanegara, Linkin Park, group musik idola saya. From The Inside, itu judul lagunya, merupakan single keempat dari album kedua mereka, Meteora, yang dirilis pada tahun 2004.
Saat pertama kali saya mendengarkan lagunya dan kemudian meresapi liriknya, saya berfikir lagu tersebut merupakan lagu tentang keputus-asaan dan kekecewaan seseorang terhadap seseorang  yang lain, dan saya juga berfikir lagu tersebut tak jauh-jauh dari tema cinta. Hal ini saya lihat dari lirik-liriknya yang menyebutkan bahwa tidak akan ada lagi kepercayaan yang akan diberikan pada seseorang yang telah dipercaya, dan biasanya lagu-lagu yang berkaitan dengan kepercayaan dan kekecewaan ya tidak jauh-jauh dari hubungan percintaan, ya nggak?
Tapi setelah saya melihat klipnya, saya berfikir bahwa penafsiran yang saya sebutkan di atas ternyata kurang pas. Dalam klip tersebut tidak ada sama sekali scenes yang memunculkan kode-kode tentang cinta, justru yang ada adalah riots di mana-mana. Sekelompok orang melakukan pengrusakan dan juga kericuhan dengan aparat seperti yang biasa kita temui dan lihat baik di televisi maupun di jalan-jalan saat ada demonstrasi. Nah, di sinilah saya melihat bahwa ternyata lagu tersebut merupakan sebuah respon terhadap realita yang mana sudah tidak "ada" lagi yang bisa dipercaya karena siapapun yang dipercaya sama-sama tak bisa memberikan kenyamanan, sama-sama merusak kepercayaan tersebut. Berbicara tentang Linkin Park, hampir semua lagu mereka saya suka. Selain lagu-lagunya enak didengar (bagi saya, dan saya yakin begitu juga bagi anda), hampir semua temanya tidak seperti kebanyakan lagu-lagu yang ada yang biasanya berbicara tentang cinta. Tema-tema lagu Linkin Park banyak berkaitan dengan modern condition dan kemanusiaan. Inilah alasan kenapa saya cukup mengidolakan Linkin Park. 
Sulit memahami apa yang saya maksud? Ya, sebenarnya saya juga merasa agak kesulitan untuk mengungkapkan apa yang maksud,, hehe... Tapi, coba deh klik di sini untuk mendengarkan lagu From The Inside, dan untuk melihat klipnya klik di sini.




Monday, May 7, 2012

#Day 7: Hujan, Kemarin dan Dulu

Kemarin sore ku lihat langit begitu gelap merata, tak ada satu pun celah cahaya matahari mampu menembus bumi. Ditambah sedikit hembusan angina sepoi-sepoi.
“Sebentar lagi akan turun hujan,” gumamku.
“Ya, sepertinya begitu,” sahut temanku.
Benar, tak beberapa lama hujan pun turun dengan derasnya, membasahi setiap pepohonan, bangunan, dan seluruh isi alam yang terbuka. Ku tarik nafas dalam-dalam dan ku rasakan kesejukan beserta aroma basah tanah. Sudah lama aku tak benar-benar menikmati turunnya hujan. Sudah lama aku hanya memandang hujan sebagai hal yang biasa yang tak perlu aku nikmati. Bahkan aku lebih sering menganggap hujan sebagai hal yang bisa menghalangi setiap aktivitas yang ingin ku lakukan.
“Yah, hujan lagi,” itulah kalimat yang sering aku lontarkan ketika hujan turun.
Ku lihat bulir-bulir air hujan yang jatuh semakin lama semakin banyak dan akhirnya membentuk genangan air yang sepertinya kebingungan akan mengalir ke mana. Ya, di daerah yang begitu padat seperti ini memang susah bagi air hujan untuk bisa mengalir. Mereka tak bisa memilih arah sesuka hati mereka karena di berbagai arah yang biasanya mereka lewati begitu banyak benda-benda aneh yang menghalangi mereka untuk pergi, sehingga tidak sedikit dari mereka yang memilih diam dan tergenang berjam-jam di jalanan, di depan rumah-rumah, sambil mengantri menunggu panggilan tanah yang meminum mereka sedikit demi sedikit atau terbawa oleh lalu lalang orang dan kendaraan yang menginjak mereka.
Tiba-tiba pandanganku mengarah keluar ruangan ke sepupu kembarku dan kedua adiknya yang sedang tertawa riang bermain-main dengan air hujan. Ku ingat dulu aku sama seperti mereka. Ya, sama seperti mereka yang begitu senang ketika hujan turun. Dan tanpa ragu-ragu aku pun keluar rumah berlari kegirangan. Ya, tanpa ragu-ragu, tanpa berfikir bahwa aku bisa sakit karena hujan-hujanan, walaupun ada sedikit kekhawatiran bahwa bisa saja aku dimarahai orang tuaku. Dan aku tak melihat kekhawatiran itu di muka para sepupuku, karena ku lihat ibu mereka memperhatikan mereka sambil sesekali tersenyum akan tingkah lucu mereka.
“Hujan-hujanan yuk!” ajak temanku.
“Hayuk,” jawabku tanpa ragu-ragu.
Segera aku dan temanku mengganti pakaian dan langsung meluncur keluar menikmati guyuran air hujan. Aku berlari ke arah sepupuku, ku godai mereka satu persatu dan mereka menyambutku dengan gelak tawa. “hahaha,,, hihihi,,,” begitulah kiranya sambutan mereka.
Sepupu kembarku yang berumur lima tahunan berlari  dari ku dan mencari pancuran air yang jatuh dari genteng-genteng bangunan. Adiknya yang berumur tiga tahunan pun menyusul mereka. Tapi tidak dengan sang adik bungsu, dia bahkan berjalan ke arah ibunya karena mungkin merasa tak bisa beraksi seperti kedua kakaknya. Aku pun menghampirinya. “Sini kakak gendong, kamu juga bisa seperti kakakmu” kataku padanya.
Ku bawa dia ke pancuran air yang jatuh deras dari atas genteng dan dia begitu menikmati. Ya, menikmati kenikmatan yang aku tak ingat apakah aku waktu kecil sama-sama menikmati apa yang ia nikmati saat sekarang. Sepertinya tidak, karena setiap hujan akan turun,   orang tuaku, bahkan almarhum bibiku pasti mewanti-wanti untuk tidak hujan-hujanan walaupun akhirnya aku seringkali tetap hujan-hujanan.
Tak terasa sudah hampir satu jam lebih aku dan sepupuku menikmati guyuran air hujan dan ku lihat bibirnya sudah mulai berwarna kebiruan. Aku antar dia ke ibunya.
“Udah dingin ya?” ujar ibunya sambil meraih sepupuku.
Setelah menyerahkan sepupuku, aku bergabung dengan temanku pergi ke tengah lapangan basket yang terletak di depan sebuah sekolah. Aku masih tak ingin berhenti, aku masih ingin menikmati dinginnya guyuran air hujan yang sudah hampir belasan tahun aku tak menikmatinya. Ku duduk, dan kemudian ku rentangkan badanku di atas genangan air. Ku pandangi langit dan kubiarkan butiran air hujan berlompatan di atas wajahku. Ya, aku masih tak ingin berhenti, hingga beberapa menit kemudian hujan pun reda. Tapi aku masih tak mengubah posisiku, karena masih ada satu lagi yang belum aku nikmati. Sesuatu yang biasa aku nikmati setelah hujan turun ketika aku masih kecil.
“Ayo pulang, udah mau maghrib,” temanku mengingatkanku.
Aku berdiri dan beranjak pergi. Tapi setelah beberapa langkah aku menoleh ke belakang, kemudian ku pandangi langit dan aku tetap tak menemukannya.

Sunday, May 6, 2012

#Day 6: Warna-Warna Poligami 2

Huft.... Aku lelah, benar-benar lelah dengan semua ini. Aku selalu dipandang sebelah mata oleh banyak orang akan statusku karena tujuanku dianggap hanya untuk kepuasan semata. Kata poligami seolah-olah menjadi monster yang menakutkan sekaligus hal yang menjijikkan tanpa melihat apa dibalik terjadinya poligami. Ya seperti yang menimpaku hari ini saat bertemu dengan ibu-ibu penjual sepatu itu. Tanpa A I U Ba Bi Bu, ia langsung menganggapku manusia paling aneh, abnormal.

"Sudah di stasiun Jatibarang ternyata," gumamku.

"Ini kosong kan mas?" tiba-tiba seorang laki-laki berusia kira-kira 40an bertanya padaku.
"Ya, kosong, pak! Baru aja turun," jawabku sambil sedikit tersenyum.
Laki-laki tersebut duduk di depanku.

"Mau ke mana pak?" tanyaku.

"Oh, ini mau ke Jogja," jawabnya dengan logat Jawanya yang khas "Istri saya tiba-tiba sakit, mas, tadi pagi dia nelpon" tambahnya.

"Oh, bapak di sini lagi kerja?" tanyaku.

"Nggak mas, di sini saya dari dua hari yang lalu di rumah istri" jawabnya.

"Lho, kok?" tanyaku singkat (bingung maksudnya).

"Ya, saya ke sini ngunjungi istri saya," jelasnya sambil berhehe ria.

"Poligami?" tanyaku sambil merendahkan suaraku.

Oh Tuhan!!! sepertinya hari ini memang hari poligami buatku. Baru beberapa jam yang lalu aku bertemu dengan orang yang sangat tak suka poligami, sekarang aku bertemu dengan pelaku poligami. "Emang kamu sendiri bukan pelaku poligami?" tanya otak kananku. "hehe, iya ding" jawab otak kiriku.

Laki-laki tersebut yang ternyata bernama Sumaryoto bercerita tentang hidupnya padaku. Dia dulunya adalah seorang sopir pribadi dari seorang pengusahawati  yang berasal dari Jogjakarta. Katanya, dia "terpaksa" menjadi sopir setelah beberapa usaha rental kaset bajakannya di Jakarta mengalami kerugian. Karena dia tak ingin anak istrinya tak makan, (yang pasti dia juga gak pengin dirinya sendiri gak makan) maka dengan kemampuan menyopirnya yang lumayan, dia menerima pekerjaan tersebut yang ditawarkan oleh salah satu temannya. Dan dia sangat bersyukur karena ternyata majikannya tersebut sangat baik padanya dan juga keluarganya. Hampir semua kebutuhan hidupnya dan keluarganya, bahkan pendidikan anaknya diurus oleh majikannya.

Dia juga bercerita kalau dia terpaksa menikah untuk yang kedua kalinya. Kok bisa? (hmm.. pertanyaan yang sebenarnya tak perlu aku tanyakan). Setelah dia menjadi sopir pribadi dari pengusahawati tersebut, dia begitu sibuk, terutama di saat majikannya yang waktu itu sudah berusia 34 tahun mau menikah. Dia harus mengantarkan undangan ke sana sini, bikin itu bikin ini, hubungi si Anu hubungi si Ani, dan kesibukan yang lain. Pada saat hari pernikahan sang majikan pun dia tetap sibuk (ya iyalah, masak waktu hari H justru nyantai-nyantai). Dia selalu stand by takut-takut majikannya membutuhkannya. Dengan berdandan rapi, dia berada di depan sebuah masjid di mana akad nikah akan dilangsungkan. Tapi ternyata rencana pernikahan tidak berjalan sesuai rencana. Jadwal yang pada awalnya mempelai pria akan dilangsungkan pukul delapan,  sampai pukul sembilan mempelai pria belum juga datang.

Pada pukul 9.30 Sumaryoto dipanggil oleh majikannya dan ditanya apakah ada tanda-tanda kedatangan mempelai pria dan dia pun menjawab kalau tanda-tanda tersebut tidak ada. Sang majikanpun mulai gusar, bingung dan cemas karena sampai jam 10 pun ternyata tetap tak datang, kabar pun tak ada, bahkan hingga kini, kata Sumaryoto, alasan ketidakdatangan sang mempelai pria belum juga terungkap.

Tepat pukul 10.15, sang majikan pun memanggil Sumaryoto.

"Sumaryoto,,, main yuk!"

Maaf, bukan gitu manggilnya. Intinya dia di es em es supaya menghadap majikannya. Saat menghadap majikanya, tanpa basa-basi majikannya bertanya "Sumaryoto, maukah Anda membantu saya?" 
"Selama saya bisa saya akan bantu, Bu!" jawabnya mantap. Dia tahu, begitu banyak kebaikan-kebaikan majikannya padanya, dan dengan membantu majikannya baginya merupakan sebuah upaya membalas budi (kok budi yang dibalas, kan belum tentu budi yang salah, halah). Ternyata majikannya tersebut membawa Sumaryoto ke dalam masjid untuk bertemu penghulu yang sudah cukup lama menunggu akad nikah dimulai. Di depan penghulu, majikannya berkata "Bapak penghulu, ini calon suami saya. Mari kita langsungkan akad nikahnya."

Saturday, May 5, 2012

#Day 5: You Will Never Walk Alone

"If You Can't Support Us When We Draw or Lose, Don't Support Us when We Win" (The Kop)

Ini fakta, bukan cerita yang mengada-ngada. Malam ini tim kesangan saya kalah. Ya, kalah. Tapi tak benar-benar kalah. Dengan penguasaan hampir 80% dan satu gol yang dianulir, tim saya, saya, dan semua para supporter yang mendukungnya harus merelakan tropi FA Cup diambil Chelsea.

Kecewa? ya tentu kecewa. Tapi sebagai Liverpudlian yang belajar menjadi supporter sejati, saya akan tetap mendukung Liverpool bagaimanapun dan apapun yang terjadi tanpa harus mencaci tim lawan, apa lagi menyalahkan tim sendiri, nangis guling-guling semalaman, atau menyesali kekalahan dengan cara nyebur kali, atau yang lebih ekstrim lagi bunuh diri seperti salah satu fans Liverpool saat Liverpool tertinggal 3-0 Mei lima tahun yang lalu, padahal mampu menang pada akhirnya.

Kenapa? karena malam ini Liverpool bukan tidak bermain bagus, hanya keberuntungan sajalah yang belum memihak Liverpool. Saya ingat kata Fernando Torres, salah satu mantan pemain Liverpool yang pindah ke Chelsea, beberapa minggu yang lalu: "Tim terbaik tidak selamanya harus menang." Saya sependapat dengannya. Dengan torehan 18 tropi liga Inggris, 5 liga champion, dan puluhan tropi yang lain masih sangat jauh dibandingkan tropi yang diraih Chelsea yang baru beberapa tropi liga Inggris, dan tak satupun tropi liga champion. Itu artinya Liverpool tetap tim terbaik. Saya bangga dan tak perlu merasa kecewa yang berlebihan hingga membuat saya harus absen dalam mengerjakan projek #30HariBlogging.. Hahaha.


Di akhir tulisan ini, saya ingin menyanyikan lagu kebanggan Liverpool dan kami para Liverpudlian.

When you walk through a storm
Hold your chin up high
And don't be afraid of the dark.
At the end of a storm
Is a golden sky
And the sweet, silver song of a lark.
Walk on, through the wind,
Walk on, through the rain,
Though your dreams be tossed and blown.
Walk on, walk on with hope in your heart,
And you'll never walk alone,
You'll never walk alone.

(Betewe, Suara saya merdu kan? kedengaran gak sih?)




Friday, May 4, 2012

#Day 4: Itu Bukan Sepi

Sepi itu.... 
bukan karena tak ada orang di depan, di belakang, kanan, dan kiri.
Sepi itu....
bukan karena tak ada orang yang tak mau mendengarkan rasa dan apa yang ingin kita bagi.
Sepi itu....
bukan karena tak ada yang mau menemani di saat kita ingin berhenti atau berlari.
Sepi itu....
bukan di saat orang-orang tak mau mengerti dan memahami apa yang terjadi.
Sepi itu....
bukan di saat kita berada di kamar sendiri.
Sepi itu....
bukan ketika malam dan hanya deru kendaraan yang terdengar atau suara jangkrik yang bernyanyi.
Sepi itu....
hmmm... apa lagi?
Sepi itu....
ternyata hanyalah perasaan di hati...
dan yang pasti....
Sepi itu hanya sebuah kata yang diawali 'S' dan diakhiri 'I'

Wednesday, May 2, 2012

#Day 3: Warna-warna Poligami

"Mas, karcisnya?" tiba-tiba tukang periksa karcis kereta api, aku tak tahu sebutan yang tepat, membuyarkan lamunanku.
"Oh, ini!" jawabku sambil memberikan karcis jurusan Gubeng, Surabaya.
Setelah karcis itu dikembalikan aku pun berkata "Makasih, mas!" sembari ku lanjutkan dalam hati "Makasih telah membuyarkan lamunan saya. Saya muak, saya kesal, kata-kata itu terus terngiang-ngiang di kepala saya" dan dia pun membalasnya dengan senyuman.
"Mas emang gak kasian sama istri tua mas? dia pasti sakit hati mas. Dimadu itu menyakitkan lho Mas. Mas sih laki-laki, coba perempuan, pasti tau tuh gimana mengerikannya dimadu." Kata ibu-ibu penjual sepatu.
Aku sengaja membeli dua sepatu yang sama untuk kedua isriku, itung-itung walaupun ku tak bisa adil setidaknya aku berusaha untuk bisa berbuat adil. Dan dari sinilah asal rasa kesalku muncul.
"Buat anaknya Mas? anaknya kembar ya?" tanya penjual sepatu.
"Bukan Bu, ini buat istri saya," jawabku 
"Wah hebat, langsung dibeliin dua," timpalnya
"Bukan Bu, istri saya memang dua dan kebetulan ukurannya juga sama," kataku
"Poligami?" tanyanya dengan nada (pura-pura) tak percaya.
Dan dari situ mulailah dia mengeluarkan kata-kata yang tak memihak padaku, kata-kata yang benar-benar menghujam tajam pantat sanubari (baca: hati). Kata-kata yang seolah-olah menganggapku bodoh, bodoh sebodohnya, walaupun memang sebenarnya aku bodoh, tapi tidak sebodoh yang ia katakan.
Satu pernyataann yang membuat aku langsung meninggalkannya tanpa aku meminta uang kembalian, yaitu "Kenapa sih mas gak jadi orang normal aja  dengan hidup yang normal bersama jumlah pasangan yang normal?" Jleeeb.... hati dan jantungku tiba-tiba meleleh, meresap keluar melewati pori-pori daging dan kulit dan terus menembus jaket kulit badakku. Aku pun lekas-lekas mengambil sepatu yang ku beli dan membayarnya. Setengah berlari, aku memegang dadaku sambil sedikit mencondongkan badanku ke belakang berharap lelehan hati dan jantungku tak terus mengalir ke luar.
Bunyi klakson kereta api (bener gak sih namanya klakson? entahlah) tak bisa membuyarkan pikiranku saat aku sudah duduk di kereta, pikiran akan rasa kesal, jengkel, marah, dan muak yang bercampur aduk terus bersenandung ria di kepalaku.
"Emang hidup yang normal itu kayak apa sih Bu?" Kataku mulai bertanya "pasangan yang normal itu gimana? apakah pasangan yang normal itu yang hanya terdiri dari satu istri dan satu suami? jangan salah Bu, sepertinya Ibu harus banyak belajar deh! Hidup atau pasangan yang normal itu gak bisa hanya dilihat dari berapa jumlah istrinya. Emang Ibu gak bisa lihat ya, bukannya banyak contoh-contoh kalau pasangan normal itu bukan berarti satu harus berpasangan dengan satu. Banyak lho contoh-contohnya, ibu aja g bisa ngeliatnya. Kata 'ya' aja pasangannya gak cuma 'tidak' tapi juga 'bukan', bahkan kata 'is' pasangannya ada tiga 'He, She, dan It'. 'Daun' juga sama, dia punya pasangan 'jendela, pintu, dan telinga'," paparku panjang lebar, gak tahu deh jelas enggaknya.
"Wah, kalo itu beda Mas," jawab ibu.
"Beda apanya coba?" tanyaku balik "itu hukum alam bu, mau tidak mau, suka tidak suka pasangan itu tidak selamannya satu dan satu, atau dua dan dua. Gak bisa gitu Bu, justru anggapan ibu bahwa poligami itu gak normal itu yang gak normal, itu yang melanggar hukum alam. Kalau ibu membenci saya, atau entah apalah istilahnya, karena saya punya pasangan lebih dari satu, ibu juga harus membenci setiap hal yang memiliki pasangan lebih dari satu. Kalau ibu menganggap 'ya' pasangannya 'tidak', jangan sekali-kali ibu menggunakan kata 'bukan' karena itu artinya ibu bakal hidup gak normal. Jika ibu menggunakan kata 'is' untuk 'he' cari kata lain buat 'she' dan 'it' (emang dia bisa bahasa Inggris?, entahlah)"  
Tapi itu hanyalah percakapan-percakapan dalam lamunanku yang buyar saat tukang periksa karcis datang padaku. Aku tak benar-benar mengatakannya, aku lebih memilih cepat-cepat pergi mengejar kereta api dan menyelamatkan jantung dan hatiku yang meleleh.

#Day 2: Cukuplah Jika.....

Jika sudah...
Mengapa kau harus mengalah,
Pada jiwa dan kata yang tak tergugah?
Mungkin bukan dirimu.
Bukan pula bayangmu yang terbelah,
Karena kau titik merah yang terasah.
Jika lelah....
Jangan kau biarkan ia mengerti,
Arti dari mimpi yang tak kau pahami.
Pula detak jantung yang berlari,
Mencari arti yang tak pergi.
Jika penat...
Jangan biarkan dirimu terjerat,
Oleh tatapan mata yang berkarat
Yang tak mampu melihat tiap tetes keringat
Dari dada yang kau pegang erat.
Cukuplah...
Cukuplah kau tertunduk lesu
Oleh deru kolong langit yang menjerit,
Menghimpit hati yang tak sakit,
Dan kau pun harus bangkit.

Tuesday, May 1, 2012

#Day 1: Rasa

"Entah disadari atau tidak, dirasa atau kau campakkan, cinta itu memang benar-benar ada," ungkapnya memulai percakapan. "Hanya saja kau tak mampu menangkapnya atau kau sengaja membiarkannya hilang ditelan oleh angkuhnya perasaanmu yang tak benar-benar mengerti apa itu cinta."
Mendengar ungkapan sahabatnya, Dia menunduk.
"Aku bukan tak mengerti cinta," Dia merespon, "bukan pula aku tak butuh cinta, tapi untuk macam ini, aku harus memikirkannya matang-matang. Ini bukan mainan, bukan pula adonan yang bisa aku aduk serupa mungkin."
"Tapi sikapmu seolah-oleh cinta bukan hal penting bagimu," sanggah sahabatnya.
"Nah, itu dia yang tak kau mengerti dariku," Sanggah Dia
"Kawan, aku sudah mengenalmu bertahun-tahun, berbagi rasa, canda tawa, ceria berduka, suka derita, lapar dahaga, kenyang bersama sudah kita lalui bersama, apa lagi yang harus aku sebutkan? Tapi ternyata kau belum juga menganggapku mengerti dirimu" sahabatnya memprotes.
"Bukan itu maksudku kawan. Tapi soal rasa, siapapun dia, hanya orang yang meresakan perasaan itulah yang benar-benar merasakannya. Ini soal rasa, rasa di hati bukan rasa di lidah. Tak mungkin satu rasa dirasakan oleh dua orang yang berbeda di saat yang bersamaan, kadarnya pasti berbeda. Di saat aku menangis, mungkin kau ikut menangis, tapi tangisanmu dan tangisannku disebabkan oleh dua alasan yang berbeda. Aku menangis karena aku mengalami sesuatu yang membuatku menangis, dan kau menangis, jika kau menangis, karena kau melihatku menangis. Jika aku bahagia, engkaupun mungkin ikut bahagia, bukan karena merasakan apa yang ku alami, tapi karena kau melihatku bahagia." jawab Dia panjang lebar.
Kedua-duanya terdiam lama.
Akhirnya, Dia berdiri. Sambil menarik nafas, Dia menatap kosong redup cahaya bulan yang tertutup awan tipis. Dan sang sahabat tetap duduk tanpa kata-kata.
"Kawan, terimakasih untuk semuanya.  Bukan ku menganggap cinta itu tak ada, bukan pula ku menganggap dirimu jauh di sana, tapi ini rasa. Ya, rasa yang tak sesederhana jumlah katanya."