Ya, aku masih ingat betul caramu berbicara, dengan logat Jawa yang khas walaupun sebenarnya kau bukan orang Jawa. Sesekali kau berbicara dengan bahasa Jawa dan sesekali dengan bahasa Madura, dan aku mengerti keduanya.
“Hujan-hujanan yuk!” ajakmu padaku pada suatu sore.
“Ayok!” jawabku
Kita pun berlarian di atas pematang sawah di belakang kosan. Ya, hanya kita berdua, tak ada yang lain, karena kita berdua yang merasa begitu dekat di antara penghuni kosan yang lain, hampir tak ada batas. Satu kebiasaan yang tak pernah aku temukan di masa sesudah dan sebelum itu adalah ketika kita makan di warung, siapa yang selesai duluan makan dia yang bayar, tanpa ada kesepakatan tanpa ada rasa keberatan, hal itu mengalir begitu saja.
“Jieb, habis lulus kursus kamu mau ke mana?” tanyamu, setelah puas berputar-putar dan hujan sudah tak deras lagi.
“Aku pulang dulu, Ta” jawabku “mau nyaiapin persyaratan ngambil ijazah, ijazahku belum diambil. Habis itu aku pingin kuliah, mungkin ke Jakarta. Emang kamu mau ke mana?” tanyaku balik.
“Aku kayaknya tetep di sini, mau kursus lagi. Tapi aku mau balik dulu” jawabmu
Walau kita berdua sebenarnya beda kursusan, tapi Tuhan menakdirkan kita bertemu di satu kosan. Dan pertemuan denganmu menjadi satu kenangan yang tak kan terlupakan.
Enam bulan tak terasa, kita pun harus berpisah. Tapi enam bulan bukan waktu yang sebentar bagiku untuk merajut kisah persahabatan denganmu. Dan pada waktu itu kau pulang lebih dulu. hanya aku satu-satunya yang mengantarkanmu menunggu bis jurusan Surabaya.
“Aku punya hutang gak?” tanyaku “kalau punya hutang tapi aku lupa, ikhlasin yak!” kataku sambil sedikit tertawa.
“Gak ada kayaknya” jawabmu
Aku ingat, di antara kau dan aku yang paling sering ngutang itu aku, haha… ya, aku ingat itu, karena sampai sekarang pun aku tak pernah ingat kau pernah pinjam uang padaku.
Kawan, aku ingat semua. Ingatanku tentang persahabat kita bahkan tak mampu aku susun dalam rangkaian kata-kata yang sempurna, terlalu indah untuk diungkapkan dengan kata-kata, karena aku hingga kini belum pernah mendapatkan seindah persahabatan yang pernah kita punya. Indahnya persahabatan itu pun bahkan berlanjut hingga kita tak lagi bersama. Seringkali kau menelponku, menanyakan kabarku, bahkan sekedar bercerita kembali tentang masa-masa bodoh kita waktu di kosan.
“Kamu lagi di mana?” Tanyaku saat kau menelponku
“Lagi di atas jembatan” jawabmu
“Di atas jembatan malem-malem gini? Ngapain?” tanyaku lagi “awas kesurupan lho!
“hehe… jalan-jalan Jieb, sumpek di rumah terus” jawabmu “tau gak Jieb, sebenarnya aku ada jinnya?”
“terus kalau udah tau ada jinnya ngapain main di jembatan malem-malem gini?” tanyaku heran.
Dan kaupun bercerita bahwa kau sudah beberapa minggu sering kesurupan. Aku sedikit bergidik mendengarnya. Tapi suaramu tak menunjukkan adanya perasaan takut, seolah-olah kesurupan merupakan hal yang biasa buatmu.
“Udah pulang aja cepetan!” saranku padamu setelah bercerita panjang lebar.
Kawan, jika kau tahu ada satu penyesalan yang amat dalam yang sampai saat ini aku benar-benar merasa bersalah padamu.
“Jieb, punya nyanyian bahasa Inggris gak buat anak-anak, nih adekku minta lagu bahasa Inggris” suatu hari saat kau menelponku lagi.
“Ada Ta, entar aku cari dulu ya! tapi jam 3-an ya kamu telpon lagi, aku lagi dikampus” jawabku
Dan saat jam tiga kau pun menelponku, dan samar-samar terdengar suara adekmu di sana.
“Gimana Jieb, ada gak?” tanyamu
“Ada Ta” jawabku “tapi gimana nih caranya? Masak aku nyanyi gitu ngajarinnya? Kayaknya susah deh kalau via telpon” tambahku panjang lebar
“Susah ya Jieb?” tanyamu saat itu tanpa sedikitpun memaksaku untuk mencari cara agar adikmu bisa aku ajarin lagu-lagu bahasa Inggris yang sebenarnya telah aku janjikan.
Bodoh, kawan… aku benar-benar bodoh, aku egois kawan. Apa susahnya sih ngajarin lagu bahasa Inggris via telepon? Tak susah sebenarnya kalau aku mau. Dan aku menyesal kawan. Seandainya kau menelponku lagi dan memintaku untuk mengajarkan adikmu lagu-lagu bahasa Inggris, akan aku lakukan kawan, hingga benar-benar habis kumpulan lagu-lagu bahasa Inggris yang aku punya. Maafkan aku, maafkan aku kawan!
Tapi maafku, penyesalanku percuma…
Berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan kau tak lagi menghubungiku. Tiba-tiba suatu hari aku merasa ada yang hilang, merasa ada yang janggal bersamaan dengan suara dengungan di telinga kiriku. Aku mencoba tak mengubrisnya. Tapi tiba-tiba aku teringat dirimu! Dan aku pun tiba-tiba ingin menghubungimu.
“Halo, assalamu ‘alaikum” sapaku saat nomor hapemu terangkat.
“Alaikum salam” jawab seseorang di sana. Jawaban itu membuatku merasa aneh, itu bukan suaramu, itu suara seorang perempuan yang tak pernah aku dengar sebelumnya.
“Maaf ini siapa ya?” tanyanya
“Ini Mujib, Bu!” jawabku “Temennya Fata, Fatahnya ada bu?” tanyaku
“Fata, mas?” tanyanya padaku yang membuat aku semakin heran “Wah, Fatahnya udah gak ada mas, udah satu bulanan yang lalu.”
Tiba-tiba tenggorokanku terasa kering seketika, dan aku pun sepertinya tak bisa merasakan detakan jantungku.
“Gak ada gimana ya, Bu?” aku masih bertanya
Ibu itu pun memberikan beberapa penjelasan padaku tentang dirimu kawan. Aku berusaha mendengarkan semuanya, dan akhirnya aku paham bahwa kau benar-benar tak ada. Ya, benar-benar tak ada, untuk selamanya. Dan kau tahu kawan? Aku pun menangis, menangisi semua cerita indah tentang kita kawan, cerita indah yang hanya menjadi kenangan yang tak bisa lagi kita bicarakan dan kita ingat bersama dan kemudian dengannya kita tertawa. Dan kau tahu kawan? Akupun menyesali dan menangisi keegoisanku yang di saat kau sakit pun aku tak tahu. Tapi apakah kau di sana tahu bahwa aku menyesal? Bahwa aku merasa begitu kehilangan? Sangat kehilangan. Karena sampai sekarang pun aku belum menemukan seorang sahabat sepertimu.
“Hujan-hujanan yuk!” ajakmu padaku pada suatu sore.
“Ayok!” jawabku
Kita pun berlarian di atas pematang sawah di belakang kosan. Ya, hanya kita berdua, tak ada yang lain, karena kita berdua yang merasa begitu dekat di antara penghuni kosan yang lain, hampir tak ada batas. Satu kebiasaan yang tak pernah aku temukan di masa sesudah dan sebelum itu adalah ketika kita makan di warung, siapa yang selesai duluan makan dia yang bayar, tanpa ada kesepakatan tanpa ada rasa keberatan, hal itu mengalir begitu saja.
“Jieb, habis lulus kursus kamu mau ke mana?” tanyamu, setelah puas berputar-putar dan hujan sudah tak deras lagi.
“Aku pulang dulu, Ta” jawabku “mau nyaiapin persyaratan ngambil ijazah, ijazahku belum diambil. Habis itu aku pingin kuliah, mungkin ke Jakarta. Emang kamu mau ke mana?” tanyaku balik.
“Aku kayaknya tetep di sini, mau kursus lagi. Tapi aku mau balik dulu” jawabmu
Walau kita berdua sebenarnya beda kursusan, tapi Tuhan menakdirkan kita bertemu di satu kosan. Dan pertemuan denganmu menjadi satu kenangan yang tak kan terlupakan.
Enam bulan tak terasa, kita pun harus berpisah. Tapi enam bulan bukan waktu yang sebentar bagiku untuk merajut kisah persahabatan denganmu. Dan pada waktu itu kau pulang lebih dulu. hanya aku satu-satunya yang mengantarkanmu menunggu bis jurusan Surabaya.
“Aku punya hutang gak?” tanyaku “kalau punya hutang tapi aku lupa, ikhlasin yak!” kataku sambil sedikit tertawa.
“Gak ada kayaknya” jawabmu
Aku ingat, di antara kau dan aku yang paling sering ngutang itu aku, haha… ya, aku ingat itu, karena sampai sekarang pun aku tak pernah ingat kau pernah pinjam uang padaku.
Kawan, aku ingat semua. Ingatanku tentang persahabat kita bahkan tak mampu aku susun dalam rangkaian kata-kata yang sempurna, terlalu indah untuk diungkapkan dengan kata-kata, karena aku hingga kini belum pernah mendapatkan seindah persahabatan yang pernah kita punya. Indahnya persahabatan itu pun bahkan berlanjut hingga kita tak lagi bersama. Seringkali kau menelponku, menanyakan kabarku, bahkan sekedar bercerita kembali tentang masa-masa bodoh kita waktu di kosan.
“Kamu lagi di mana?” Tanyaku saat kau menelponku
“Lagi di atas jembatan” jawabmu
“Di atas jembatan malem-malem gini? Ngapain?” tanyaku lagi “awas kesurupan lho!
“hehe… jalan-jalan Jieb, sumpek di rumah terus” jawabmu “tau gak Jieb, sebenarnya aku ada jinnya?”
“terus kalau udah tau ada jinnya ngapain main di jembatan malem-malem gini?” tanyaku heran.
Dan kaupun bercerita bahwa kau sudah beberapa minggu sering kesurupan. Aku sedikit bergidik mendengarnya. Tapi suaramu tak menunjukkan adanya perasaan takut, seolah-olah kesurupan merupakan hal yang biasa buatmu.
“Udah pulang aja cepetan!” saranku padamu setelah bercerita panjang lebar.
Kawan, jika kau tahu ada satu penyesalan yang amat dalam yang sampai saat ini aku benar-benar merasa bersalah padamu.
“Jieb, punya nyanyian bahasa Inggris gak buat anak-anak, nih adekku minta lagu bahasa Inggris” suatu hari saat kau menelponku lagi.
“Ada Ta, entar aku cari dulu ya! tapi jam 3-an ya kamu telpon lagi, aku lagi dikampus” jawabku
Dan saat jam tiga kau pun menelponku, dan samar-samar terdengar suara adekmu di sana.
“Gimana Jieb, ada gak?” tanyamu
“Ada Ta” jawabku “tapi gimana nih caranya? Masak aku nyanyi gitu ngajarinnya? Kayaknya susah deh kalau via telpon” tambahku panjang lebar
“Susah ya Jieb?” tanyamu saat itu tanpa sedikitpun memaksaku untuk mencari cara agar adikmu bisa aku ajarin lagu-lagu bahasa Inggris yang sebenarnya telah aku janjikan.
Bodoh, kawan… aku benar-benar bodoh, aku egois kawan. Apa susahnya sih ngajarin lagu bahasa Inggris via telepon? Tak susah sebenarnya kalau aku mau. Dan aku menyesal kawan. Seandainya kau menelponku lagi dan memintaku untuk mengajarkan adikmu lagu-lagu bahasa Inggris, akan aku lakukan kawan, hingga benar-benar habis kumpulan lagu-lagu bahasa Inggris yang aku punya. Maafkan aku, maafkan aku kawan!
Tapi maafku, penyesalanku percuma…
Berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan kau tak lagi menghubungiku. Tiba-tiba suatu hari aku merasa ada yang hilang, merasa ada yang janggal bersamaan dengan suara dengungan di telinga kiriku. Aku mencoba tak mengubrisnya. Tapi tiba-tiba aku teringat dirimu! Dan aku pun tiba-tiba ingin menghubungimu.
“Halo, assalamu ‘alaikum” sapaku saat nomor hapemu terangkat.
“Alaikum salam” jawab seseorang di sana. Jawaban itu membuatku merasa aneh, itu bukan suaramu, itu suara seorang perempuan yang tak pernah aku dengar sebelumnya.
“Maaf ini siapa ya?” tanyanya
“Ini Mujib, Bu!” jawabku “Temennya Fata, Fatahnya ada bu?” tanyaku
“Fata, mas?” tanyanya padaku yang membuat aku semakin heran “Wah, Fatahnya udah gak ada mas, udah satu bulanan yang lalu.”
Tiba-tiba tenggorokanku terasa kering seketika, dan aku pun sepertinya tak bisa merasakan detakan jantungku.
“Gak ada gimana ya, Bu?” aku masih bertanya
Ibu itu pun memberikan beberapa penjelasan padaku tentang dirimu kawan. Aku berusaha mendengarkan semuanya, dan akhirnya aku paham bahwa kau benar-benar tak ada. Ya, benar-benar tak ada, untuk selamanya. Dan kau tahu kawan? Aku pun menangis, menangisi semua cerita indah tentang kita kawan, cerita indah yang hanya menjadi kenangan yang tak bisa lagi kita bicarakan dan kita ingat bersama dan kemudian dengannya kita tertawa. Dan kau tahu kawan? Akupun menyesali dan menangisi keegoisanku yang di saat kau sakit pun aku tak tahu. Tapi apakah kau di sana tahu bahwa aku menyesal? Bahwa aku merasa begitu kehilangan? Sangat kehilangan. Karena sampai sekarang pun aku belum menemukan seorang sahabat sepertimu.
Kawan, aku akan selalu ingat kawan, semuanya, hingga senyuman dan pelukan terakhirmu saat ku mengantarkanmu pulang tiga tahun yang lalu.
0 komentar:
Post a Comment