Pages

Monday, May 7, 2012

#Day 7: Hujan, Kemarin dan Dulu

Kemarin sore ku lihat langit begitu gelap merata, tak ada satu pun celah cahaya matahari mampu menembus bumi. Ditambah sedikit hembusan angina sepoi-sepoi.
“Sebentar lagi akan turun hujan,” gumamku.
“Ya, sepertinya begitu,” sahut temanku.
Benar, tak beberapa lama hujan pun turun dengan derasnya, membasahi setiap pepohonan, bangunan, dan seluruh isi alam yang terbuka. Ku tarik nafas dalam-dalam dan ku rasakan kesejukan beserta aroma basah tanah. Sudah lama aku tak benar-benar menikmati turunnya hujan. Sudah lama aku hanya memandang hujan sebagai hal yang biasa yang tak perlu aku nikmati. Bahkan aku lebih sering menganggap hujan sebagai hal yang bisa menghalangi setiap aktivitas yang ingin ku lakukan.
“Yah, hujan lagi,” itulah kalimat yang sering aku lontarkan ketika hujan turun.
Ku lihat bulir-bulir air hujan yang jatuh semakin lama semakin banyak dan akhirnya membentuk genangan air yang sepertinya kebingungan akan mengalir ke mana. Ya, di daerah yang begitu padat seperti ini memang susah bagi air hujan untuk bisa mengalir. Mereka tak bisa memilih arah sesuka hati mereka karena di berbagai arah yang biasanya mereka lewati begitu banyak benda-benda aneh yang menghalangi mereka untuk pergi, sehingga tidak sedikit dari mereka yang memilih diam dan tergenang berjam-jam di jalanan, di depan rumah-rumah, sambil mengantri menunggu panggilan tanah yang meminum mereka sedikit demi sedikit atau terbawa oleh lalu lalang orang dan kendaraan yang menginjak mereka.
Tiba-tiba pandanganku mengarah keluar ruangan ke sepupu kembarku dan kedua adiknya yang sedang tertawa riang bermain-main dengan air hujan. Ku ingat dulu aku sama seperti mereka. Ya, sama seperti mereka yang begitu senang ketika hujan turun. Dan tanpa ragu-ragu aku pun keluar rumah berlari kegirangan. Ya, tanpa ragu-ragu, tanpa berfikir bahwa aku bisa sakit karena hujan-hujanan, walaupun ada sedikit kekhawatiran bahwa bisa saja aku dimarahai orang tuaku. Dan aku tak melihat kekhawatiran itu di muka para sepupuku, karena ku lihat ibu mereka memperhatikan mereka sambil sesekali tersenyum akan tingkah lucu mereka.
“Hujan-hujanan yuk!” ajak temanku.
“Hayuk,” jawabku tanpa ragu-ragu.
Segera aku dan temanku mengganti pakaian dan langsung meluncur keluar menikmati guyuran air hujan. Aku berlari ke arah sepupuku, ku godai mereka satu persatu dan mereka menyambutku dengan gelak tawa. “hahaha,,, hihihi,,,” begitulah kiranya sambutan mereka.
Sepupu kembarku yang berumur lima tahunan berlari  dari ku dan mencari pancuran air yang jatuh dari genteng-genteng bangunan. Adiknya yang berumur tiga tahunan pun menyusul mereka. Tapi tidak dengan sang adik bungsu, dia bahkan berjalan ke arah ibunya karena mungkin merasa tak bisa beraksi seperti kedua kakaknya. Aku pun menghampirinya. “Sini kakak gendong, kamu juga bisa seperti kakakmu” kataku padanya.
Ku bawa dia ke pancuran air yang jatuh deras dari atas genteng dan dia begitu menikmati. Ya, menikmati kenikmatan yang aku tak ingat apakah aku waktu kecil sama-sama menikmati apa yang ia nikmati saat sekarang. Sepertinya tidak, karena setiap hujan akan turun,   orang tuaku, bahkan almarhum bibiku pasti mewanti-wanti untuk tidak hujan-hujanan walaupun akhirnya aku seringkali tetap hujan-hujanan.
Tak terasa sudah hampir satu jam lebih aku dan sepupuku menikmati guyuran air hujan dan ku lihat bibirnya sudah mulai berwarna kebiruan. Aku antar dia ke ibunya.
“Udah dingin ya?” ujar ibunya sambil meraih sepupuku.
Setelah menyerahkan sepupuku, aku bergabung dengan temanku pergi ke tengah lapangan basket yang terletak di depan sebuah sekolah. Aku masih tak ingin berhenti, aku masih ingin menikmati dinginnya guyuran air hujan yang sudah hampir belasan tahun aku tak menikmatinya. Ku duduk, dan kemudian ku rentangkan badanku di atas genangan air. Ku pandangi langit dan kubiarkan butiran air hujan berlompatan di atas wajahku. Ya, aku masih tak ingin berhenti, hingga beberapa menit kemudian hujan pun reda. Tapi aku masih tak mengubah posisiku, karena masih ada satu lagi yang belum aku nikmati. Sesuatu yang biasa aku nikmati setelah hujan turun ketika aku masih kecil.
“Ayo pulang, udah mau maghrib,” temanku mengingatkanku.
Aku berdiri dan beranjak pergi. Tapi setelah beberapa langkah aku menoleh ke belakang, kemudian ku pandangi langit dan aku tetap tak menemukannya.

1 komentar:

Dessy Aster said...

One I heart the most from the rainy moment is that I sometimes find love in serenity of its noise.