Di depan cermin ia berdiri, menatap setiap guratan usia yang semakin lama membuatnya semakin tua.
“Ah, aku masih muda” katanya sambil sedikit tersenyum “Benar kan?” Tanyanya kemudian pada cermin.
Cermin hanya diam tak berkata, bukan takut tuk menjawab tapi diamnya adalah jawaban. Jawaban antara tidak dan ya. Cermin menjawab dengan jawaban jujur, hanya saja jawaban-jawaban itu harus ia susun kembali menjadi satu jawaban yang utuh sehingga ia bisa mengetahui apa sebenarnya jawaban sang cermin.
Namun, ia masih belum mampu menyusun jawaban-jawaban tersebut, atau ia sudah menyusunnya namun ia belum yakin dengan jawaban sang cermin.
Kemudian ia menyisir rambutnya yang panjang agar terlihat rapi. Mengoleskan cream anti-aging di setiap sudut wajahnya dan tak lupa beberapa goresan lipstik yang ia beli di sebuah kota yang terkenal akan kosmetiknya beberapa bulan yang lalu. Ia berdehem dan berdiri lagi di depan cermin.
“Sekarang bagaimana?” tanyanya serius
Lagi-lagi, cermin warisan dari kakek kakeknya tersebut tak bersuara. Diam seperti adanya. Dan lagi ia harus menyusun kepingan-kepingan diam sang cermin menjadi satu jawaban yang bersuara, ya atau tidak.
Kepingan-kepingan itu terlalu banyak baginya, ia tak benar-benar bisa menyusunnya. Ia kemudian berjalan keluar kamarnya menuju balkon yang menghadap tempat di mana mentari kembali ke peraduannya. Ia menghela nafas panjang sembari membelai daun-daun bunga jasmin yang menjalar lebat di pagar balkon. Ada butiran-butiran sisa air hujan yang menetes dari daun-daun yang ia sentuh. Kemudian ia tersentak dan kembali ke kamarnya.
Sambil membawa gunting ia pergi ke kamar mandi. Ia membersihkan semua hasil make-up yang ia oleskan dan memendekkan rambutnya. Setelah itu ia pun kembali berdiri di depan cermin di kamarnya.
“Bagaimana kalau sekarang?” tanyanya lagi
Dengan jawaban yang sama, cermin itu diam dalam jawabnya, menjawab dalam diamnya.
Ia pun mengambil cermin yang setinggi setengah dari tingginya tersebut dari tempatnya. Menatapnya dengan tatapan tajam dan kemudian menggoncang-goncangkannya.
“Berikan jawaban yang aku mengerti, berikan jawaban yang bisa aku pahami, jangan hanya diam!” teriaknya pada sang cermin. Dan cermin pun tetap diam.
Dan ia pun melemparkan cermin tersebut ke sudut kamarnya.
Suara pecah cermin akhirnya memberikan jawaban. Tapi tetap saja, jawaban itu tak jelas karena setiap pecahan memberikan jawaban masing-masing yang membuatnya semakin pusing dan harus berkeliling mengumpulkan jawaban-jawaban yang berserakan bersama dengan berserakannya pecahan-pecahan cermin tersebut.
Ia pun duduk, tertunduk. Ia lelah. Namun akhirnya ia berdiri lagi menghampiri pecahan-pecahan cermin yang berserakan. Mata manisnya memandangi setiap pecahan kaca. Ia pun mengambil satu pecahan cermin seukuran tangannya yang tepat berada di bawahnya. Ia memandanginya, bercermin dengannya.
“Aku sudah tua,” bisik sang pecahan cermin.
Cermin hanya diam tak berkata, bukan takut tuk menjawab tapi diamnya adalah jawaban. Jawaban antara tidak dan ya. Cermin menjawab dengan jawaban jujur, hanya saja jawaban-jawaban itu harus ia susun kembali menjadi satu jawaban yang utuh sehingga ia bisa mengetahui apa sebenarnya jawaban sang cermin.
Namun, ia masih belum mampu menyusun jawaban-jawaban tersebut, atau ia sudah menyusunnya namun ia belum yakin dengan jawaban sang cermin.
Kemudian ia menyisir rambutnya yang panjang agar terlihat rapi. Mengoleskan cream anti-aging di setiap sudut wajahnya dan tak lupa beberapa goresan lipstik yang ia beli di sebuah kota yang terkenal akan kosmetiknya beberapa bulan yang lalu. Ia berdehem dan berdiri lagi di depan cermin.
“Sekarang bagaimana?” tanyanya serius
Lagi-lagi, cermin warisan dari kakek kakeknya tersebut tak bersuara. Diam seperti adanya. Dan lagi ia harus menyusun kepingan-kepingan diam sang cermin menjadi satu jawaban yang bersuara, ya atau tidak.
Kepingan-kepingan itu terlalu banyak baginya, ia tak benar-benar bisa menyusunnya. Ia kemudian berjalan keluar kamarnya menuju balkon yang menghadap tempat di mana mentari kembali ke peraduannya. Ia menghela nafas panjang sembari membelai daun-daun bunga jasmin yang menjalar lebat di pagar balkon. Ada butiran-butiran sisa air hujan yang menetes dari daun-daun yang ia sentuh. Kemudian ia tersentak dan kembali ke kamarnya.
Sambil membawa gunting ia pergi ke kamar mandi. Ia membersihkan semua hasil make-up yang ia oleskan dan memendekkan rambutnya. Setelah itu ia pun kembali berdiri di depan cermin di kamarnya.
“Bagaimana kalau sekarang?” tanyanya lagi
Dengan jawaban yang sama, cermin itu diam dalam jawabnya, menjawab dalam diamnya.
Ia pun mengambil cermin yang setinggi setengah dari tingginya tersebut dari tempatnya. Menatapnya dengan tatapan tajam dan kemudian menggoncang-goncangkannya.
“Berikan jawaban yang aku mengerti, berikan jawaban yang bisa aku pahami, jangan hanya diam!” teriaknya pada sang cermin. Dan cermin pun tetap diam.
Dan ia pun melemparkan cermin tersebut ke sudut kamarnya.
Suara pecah cermin akhirnya memberikan jawaban. Tapi tetap saja, jawaban itu tak jelas karena setiap pecahan memberikan jawaban masing-masing yang membuatnya semakin pusing dan harus berkeliling mengumpulkan jawaban-jawaban yang berserakan bersama dengan berserakannya pecahan-pecahan cermin tersebut.
Ia pun duduk, tertunduk. Ia lelah. Namun akhirnya ia berdiri lagi menghampiri pecahan-pecahan cermin yang berserakan. Mata manisnya memandangi setiap pecahan kaca. Ia pun mengambil satu pecahan cermin seukuran tangannya yang tepat berada di bawahnya. Ia memandanginya, bercermin dengannya.
“Aku sudah tua,” bisik sang pecahan cermin.
0 komentar:
Post a Comment