“Ayah, seharusnya kita tidak lagi memelihara anjing-anjing itu. Mereka tidak memberikan manfaat.” Ujar Marno kepada ayahnya, Pak Barda.
“Ya, seharusnya kita memelihara sapi, Ayah.” Tambah Marni, saudari kembar Marno.
“Dari mana kita mendapatkan sapi, Anakku? Yang kita punya hanya anjing-anjing itu. Lagipula kita bisa memanfaatkan mereka untuk berburu babi hutan untuk kita makan atau kita jual.” Kata Barda.
Aku hanya duduk diam mendengarkan perbincangan mereka, perbincangan yang lebih menyerupai perdebatan. Aku tahu mereka tidak akan begitu mempermasalahkan aku karena aku tidak tanpak seperti anjing-anjing yang mereka pelihara lebih dari lima tahun yang lalu. Yang mereka tahu aku hanyalah peliharaan yang tidak begitu merugikan, karena yang mereka tahu aku adalah pembasmi tikus-tikus yang selalu ingin menghabisi hasil ladang mereka. Itu yang mereka tahu. Diberi makan atau tidak diberi makan, menurut mereka aku akan tetap hidup, tapi tidak dengan anjing-anjing pemburu itu. Anjing-anjing tersebut harus mereka beri makan, jika tidak anjing-anjing tersebut tidak akan mau pergi berburu dan itu akan merugikan mereka karena mereka cukup bergantung terhadap hasil buruan anjing-anjing itu.
Sejak kedatangan anjing-anjing itu, keluarga Barda lebih banyak memperhatikan anjing-anjing tersebut ketimbang aku. Dulu mereka begitu mengelu-elukan aku ketika aku bisa membasmi tikus-tikus yang mau memakan hasil ladang mereka yang mereka simpan di penampungan di bawah atap dapur mereka.
“Babi hutan? Apakah ayah tidak sadar berapa babi hutan yang sudah anjing-anjing itu tangkap seminggu ini?” Tanya Marno, menggurui “hanya satu ekor, itupun anaknya. Padahal di hutan babi-babi hutan itu jumlahnya tidak sedikit.”
“Dan satu ekor anak babi hutan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan kita,” Tambah Marni.
“Ya setidaknya kita masih bisa mendapatkan babi hutan,” bela Pak Barda.
Perdebatan dengan pola yang sama inilah yang sering aku dengar setiap Pak Barda mau pergi berburu.
“Menurut Ayah itu cukup, jika tidak seharusnya kalian melakukan sesuatu untuk mencukupi kebutuhan kita.” Tambah Pak Barda.
Pak Barda pun beranjak pergi ke hutan bersama tiga anjingnya yang menatap tajam dan mendengus saat berjalan di depanku. Dengusan itu bukan tak bermakna apa-apa. Aku menganggapnya sebagai ancaman, bau amis dari mulut si Biru dan si Kuning tiga hari yang lalu masih aku ingat saat aku berpapasan dengan mereka ketika mereka mau masuk ke kamar mereka. Ya, kamar mereka. Aku tak menyebutnya kandang karena sejak beberapa minggu yang lalu mereka tidak mau tidur di kandang mereka. Jika mereka dipaksa tidur di kadang mereka, maka keesokan harinya mereka tidak akan mau berburu. Bahkan akhir-akhir ini mereka tidak pernah mau makan tulang yang disediakan oleh Pak Barda, kecuali mereka diberi minum air gula yang dicampur putih air nasi terlebih dahulu, padahal Pak Barda dan keluarganya sendiri cukup susah untuk bisa makan nasi.
“Apa yang kau lihat?” seolah-olah terdengar pertanyaan dari si Biru, sebutan buat anjing yang bermata kebiru-biruan, saat melihat aku berhenti dan memperhatikan mereka, “awas kalau macam-macam!” Tambah dia diikuti gertakan si Kuning dan si Putih.
Mungkin mereka tahu dan aku yakin mereka pasti tahu jika aku mencium bau amis dari mulut mereka sehingga mereka menggertakku demikian. Hal demikian membuatku penasaran dengan apa yang telah mereka lakukan, karena tiga hari yang lalu adalah hari keempat setelah anjing-anjing itu terakhir kali menangkap anak babi hutan.
Pada waktu itu, saat matahari mulai beranjak ke peraduan Pak Barda kembali dari hutan hanya dengan si Putih. Si Kuning dan si Biru tak terlihat bersama-sama. Pak Barda kembali tanpa mendapatkan hasil buruan apapun.
“Kenapa hanya bersama si Putih, Yah?” Tanya Marni.
“Entahlah, Ayah sudah menunggunya berjam-jam tapi yang nampak hanya si Putih.” Jawab Pak Barda.
“Aku sudah bilang kalau ketiga anjing yang kita pelihara tak memberikan manfaat apa-apa kecuali hanya merepotkan saja. Buruan pun tidak mereka dapatkan.” Kata Marno menyalahkan.
“Sebentar lagi pasti mereka kembali.” Ujar Pak Barda.
“Ya, kembali untuk merepotkan kita,” kata Marno ketus.
Pak Barda tak berkata apa-apa. Dia hanya beranjak ke kursi kayu panjang di depan rumahnya dan duduk di atasnya. Sepertinya dia cukup lelah. Tatapannya menerawang jauh ke dalam hutan di depannya. Sebuah tatapan yang menurutku mempunyai dua makna antara tatapan harapan agar kedua anjingnya kembali dan tatapan kebimbangan akan kata-kata anaknya yang baru saja ia dengar.
Saat sang senja mulai samar-samar memudar berganti gelap, Pak Barda berjalan membuka pintu rumahnya, namun tiba-tiba suara gongongan anjing di belakannya membuatnya berbalik. Bukan gonggongan anjing si Putih, tapi si Biru dan si Kuning. Ternyata kedua anjingnya akhirnya kembali. Pak Barda pun langsung menyambutnya.
“Kemana saja kalian berdua?” ujar Pak Barda sambil mengelus-ngelus dan mencium kedua anjing tersebut.
“Seharusnya mereka tak kembali.” Kata Marno diikuti jawaban ya adiknya
Pak Barda tak menghiraukan kata-kata anaknya dan menyuruh anjing-anjingnya masuk ke dalam kamarnya. Pada saat itulah aku berpapasan dengan dengan mereka dan aku mulai merasakan hal yang janggal.
Kejadian seperti ini sebenarnya bukan yang pertama kali. Dua hari sebelumnya hal ini pernah terjadi. Pada waktu itu si Putih dan si Birulah yang kembali terlambat. Namun aku tidak menemukan kejanggalan dari mereka karena waktu itu aku hanya memperhatikan mereka dari atas genteng depan rumah, tempat biasa aku duduk-duduk.
Setelah berpapasan dengan mereka aku berjalan menelusuri pekarangan rumah dan kolam kecil ikan Pak Barda kira-kira 20 meter dari arah sebelah rumahnya. Pada saat menjelang malam, ikan-ikan di kolam Pak Barda biasanya mengumpulkan oksigen dengan cara mengambang di atas permukaan air dan menjulurkan mulutnya. Seperti biasa, aku akan mencari cara agar bisa menangkap setidaknya satu ikan untuk mengisi perutku, namun tidak pada waktu itu. Aku lebih ingin menelusuri asal bau yang samar-samar aku cium. Bau itu aku kira berasal dari arah pohon lebat tidak jauh dari tempat aku berada. Aku memutuskan untuk mencari tahu bau apa itu sebenarnya. Semakin jauh aku melangkah, semakin jelas bau itu. Setelah tepat aku berada di bawah pohon lebat tersebut aku menemukan beberapa potongan daging kecil dan dari situ aku tahu siapa dan apa yang dilakukan oleh ketiga anjing Pak Barda.
Bukan hal yang mengherankan lagi bagiku ketika hari ini kejadian itu terulang lagi. Hari ini Pak Barda juga kembali tanpa hasil buruan dan hanya ditemani oleh si Biru. Rupanya kali ini si Putih dan si Kuning yang bakal pulang terlambat. Seperti biasa Pak Barda duduk di atas kursi kayu depan rumahnya menunggu kedatangan kedua anjingnya. Tepat setelah matahari terbenam kedua anjing tersebut datang.
“Ayah masih tetap ingin memelihara ketiga anjing itu?” Tanya Marno saat ayahnya menyuruh ketiga anjingnya masuk ke kamarnya, “lagipula ayah sudah tahu kalau selama ini anjing-anjing itu tak benar-benar memberikan manfaat.”
“Kenapa ayah bersikukuh untuk tidak menggantinya dengan peliharaan hewan lain?” juga Tanya Marni
Pak Barda hanya diam. Dia tak benar-benar tahu apa yang harus dia lakukan.
“Sudahlah besok anjing-anjing ini kita jual dan kita ganti dengan yang lain.” Kata Marno.
Pak Barda menarik nafas panjang. Tarikan nafasnya menggambarkan kepasrahannya akan rencana yang disampaikan anaknya. Sepertinya dia tak mau menyalahkan anaknya karena kenyataannya ketiga anjing yang dia pelihara memang benar-benar tak begitu memberikan manfaat. Tapi mungkin yang dipikirkannya dan yang menjadi pertanyaan bagi dirinya sendiri adalah hewan ternak seperti apa yang lebih bermanfaat dan seharga dengan ketiga anjing pemburunya itu.
Keesokan harinya, Marno dan Marni benar-benar membawa ketiga anjingnya untuk dijual. Pak Barda akhirnya memasrahkan semuanya kepada anaknya. Dari tatapannya aku menangkap secercah harapan agar apa yang dilakukan anaknya mampu memberikan sedikit perubahan dalam kehidupan mereka.
Setelah dia mengurusi kolam ikannya, Pak Barda duduk di atas kursi depan rumahnya bersamaku di sampingnya menunggu kedatangan kedua anaknya membawa hewan baru. Hari mulai sore dan kedua anaknya belum juga muncul. Pak Barda sesekali menyeruput kopi campur tepung jagungnya. Aku mulai tak sabar ingin tahu hewan apa yang akan di bawa oleh kedua anak Pak Barda.
Tidak lama kemudian, tanpak Marno dan Marni dari kejauhan berjalan ke arah kami dengan membawa hewan. Semakin lama semakin jelas bentuk, jumlah, dan warna hewan yang mereka bawa. Semakin dekat aku semakin tahu apa yang mereka bawa. Yang mereka bawa adalah hewan yang sama dengan jumlah yang sama hanya dengan warna dan corak bulu yang berbeda. Ku tatap wajah Pak Barda, tak ada wajah keheranan yang ku tangkap dari wajahnya dengan apa yang dia lihat.
1 komentar:
Coba tolong jelaskan tolong jelaskan toong jelaskaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaannnnnn!!!!!
Post a Comment