Pukul delapan malam lebih aku beranjak pulang dari
kampus. Sambil mendengarkan lagu-lagu terlama dan terbaru Linkin Park,
pandanganku mencari-cari sesuatu di setiap sudut tempat dan bayangan yang
terlihat. Ya, semenjak taburan cahaya kembang api menghiasi langit 1 Januari
2013 aku memiliki sebuah pekerjaan yang bisa dibilang berat tapi menyenangkan,
setidaknya bagiku seperti itu. Apa itu? Mencari ide. Ya, mencari ide untuk
sebuah tulisan yang harus aku posting di blogku. Meter demi meter langkahku
menapaki setiap lorong gelap di belakang kampus, hingga akhirnya aku temui
beberapa juniorku di depan perpustakaan jurusan sedang menyantap tempe mendoan.
“Mendoan, Kak!” kata salah satu dari mereka saat
melihatku datang.
“Wah, mantap tuh!” jawabku. Dan tanpa ragu-ragu
akupun bergabung dengan mereka.
Pikiranku masih tertuju pada pencarian ide. Ku
pandangi mata juniorku satu persatu barangkali aku bisa menemukan beberapa ide
bagus dari pantulan cahaya dari masing-masing mata mereka. Tapi percuma, ide
itu tak terlihat juga.
“wow, pedes banget cuy sambelnya,” kata ku
tiba-tiba.
“ini nih baru mendoan,” tambah salah satu juniorku.
“kulit mendoan tuh lembek ya, beda banget ama
gorengan. Kalo gorengan kan agak keras gitu,” sambung yang lain.
“tapi kan sama-sama digoreng, bray” timpal yang
lain.
“Ya juga sih,” jawab temannya dengan tersenyum.
Hatiku sedikit tersenyum mendengar
perkataan-perkataan mereka. Sebuah komparasi ringan. Sebuah komparasi tentang
perbedaan dan persamaan. Sebuah komparasi yang berangkat dari perbedaan yang
ujung-ujungnya tetap memiliki kesamaan. Sebuah komparasi yang tidak hanya
berasal dari satu sudut pandang.
Tiba-tiba aku teringat akan demonstrasi yang terjadi
beberapa hari yang lalu. Hmmm… aku tidak ingin mengomentari apakah demonstrasi
tersebut sebuah langkah yang bijak atau bukan karena hal tersebut menuntut aku
untuk melihatnya dari berbagai sisi yang belum aku ketahui. Namun, aku ingin
mengomentari prilaku beberapa demonstran yang menurut aku sangat tidak bijak.
Aku pikir semua akan setuju bahwa mencorat-coret tembok kampus, merusak properti-properti
kampus, dan membuat merasa terganggu (dan mungkin ketakutan) penduduk kampus
yang lain bukanlah sebuah tindakan yang bijak dilihat dari sudut pandang
manapun. Andai saja para demonstran yang melakukan pengrusakan tersebut
memiliki cara sudut pandang seperti junior-juniorku ini, tentunya mereka akan melakukan cara yang lebih
bijak dan efektif dalam menyampaikan gagasan mereka.
“Balik dulu ya,!” kata ku tiba-tiba setelah merasa
cukup mencicipi mendoan, “Thanks mendoannya!” tambahku.
Di tengah perjalanan pulang, aku bertanya-tanya
mengapa bangsa ini begitu mudah bertindak anarkis, mengapa bangsa ini begitu
mudah tersinggung dan marah. Sepertinya ungkapan bahwa kita bangsa timur yang
ramah sudah tak lagi pantas kita sandang. Bayangkan saja, berita pembunuhan dan
kematian menjadi sarapan pagi kita, berita pemerkosaan dan tawuran menjadi
makanan siang kita, bahkan makan malam kitapun disuguhi dengan berita bentrokan
antar suku. Entahlah, aku belum berani memberikan kesimpulan yang pasti.
“Baru pulang?” sapa ibu kosku sesampainya aku di
kosan.
“Ya, Bu” jawabku.
Aku langsung pergi ke kamarku, ganti pakaian dan
meletakkan tas. Aku ingat bulan ini aku belum bayar uang kos. Mumpung ibu kos
belum tidur, aku pun mengambil uang yang sudah aku siapkan.
“Bu, mau bayar kosan,” ujarku saat aku melihatnya masih
berada di luar.
“oh, makasih ya!” kata ibu kos.
“Sama-sama, Bu” jawabku.
“oh ya, kamu jadi pulang gak entar?” tanyanya
“Insya Allah jadi, Bu,” jawabku
“Ibu juga pengen pulang kampung,” tambahnya.
Ibu kospun mulai bercerita tentang alasan kenapa dia
ingin pulang. Aku pun mendengarkannya. Penjelasan ibu kos begitu panjang lebar.
Aku pun mulai berfikir sepertinya obrolan ini tidak akan berakhir dengan cepat
dan akan ada banyak topik yang akan beliau ceritakan dan aku pun mengambil
posisi yang enak. Ternyata benar, beliau mulai bercerita tentang sinetron yang beliau
tonton semalam. Kemudian beliau bercerita tentang pengamatannya tentang siklus
kematian mahasiswa dan dosen di fakultas beliau mengajar. Menurut beliau di
fakultas tempat beliau mengajar setiap tahunnya selalu ada yang meninggal.
Siklus yang terjadi selama ini menurut beliau selalu bergantian. Jika tahun
2011 yang meninggal dosen maka pada tahun 2012 yang meninggal mahasiswa, dan
siklus tersebut juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Hingga akhirnya
obrolan tersebut sampai juga pada topik tentang demonstrasi beberapa hari yang
lalu. Aku berusaha menyimaknya walau sesekali pikiranku tertuju pada pencarian
ide yang akan aku tulis diblogku.
“Udah malem, waktunya tidur,” ujar ibu kos
tiba-tiba.
“Masak sih udah malam?” gumamku dalam hati.
“Makasih ya,” kata ibu kos sebelum pergi ke
kamarnya.
“sama-sama, Bu,” jawabku
Aku pun beranjak dari tempat dudukku. Mataku mulai
mengantuk dan aku sedikit kaget setelah ku lihat jam dinding menunjukkan angka
12 kurang.
“hmmm… ya sudahlah, sepertinya aku harus tidur dulu.
Besok kan ada kelas pagi. Untuk urusan blog, ngutang dulu aja,” pikirku,
“kayaknya tempe mendoan bisa tuh dijadiin cerita”.
2 komentar:
Iiihh gak bagi2 mendoannya. Terus kapan nulis buat blog kapaaaannn??
XD
haha... nunggu ilham dulu kak.
Post a Comment