"Mas, karcisnya?" tiba-tiba tukang periksa karcis kereta api, aku tak tahu sebutan yang tepat, membuyarkan lamunanku.
"Oh, ini!" jawabku sambil memberikan karcis jurusan Gubeng, Surabaya.
Setelah karcis itu dikembalikan aku pun berkata "Makasih, mas!" sembari ku lanjutkan dalam hati "Makasih telah membuyarkan lamunan saya. Saya muak, saya kesal, kata-kata itu terus terngiang-ngiang di kepala saya" dan dia pun membalasnya dengan senyuman.
"Mas emang gak kasian sama istri tua mas? dia pasti sakit hati mas. Dimadu itu menyakitkan lho Mas. Mas sih laki-laki, coba perempuan, pasti tau tuh gimana mengerikannya dimadu." Kata ibu-ibu penjual sepatu.
Aku sengaja membeli dua sepatu yang sama untuk kedua isriku, itung-itung walaupun ku tak bisa adil setidaknya aku berusaha untuk bisa berbuat adil. Dan dari sinilah asal rasa kesalku muncul.
"Buat anaknya Mas? anaknya kembar ya?" tanya penjual sepatu.
"Bukan Bu, ini buat istri saya," jawabku
"Wah hebat, langsung dibeliin dua," timpalnya
"Bukan Bu, istri saya memang dua dan kebetulan ukurannya juga sama," kataku
"Poligami?" tanyanya dengan nada (pura-pura) tak percaya.
Dan dari situ mulailah dia mengeluarkan kata-kata yang tak memihak padaku, kata-kata yang benar-benar menghujam tajam pantat sanubari (baca: hati). Kata-kata yang seolah-olah menganggapku bodoh, bodoh sebodohnya, walaupun memang sebenarnya aku bodoh, tapi tidak sebodoh yang ia katakan.
Satu pernyataann yang membuat aku langsung meninggalkannya tanpa aku meminta uang kembalian, yaitu "Kenapa sih mas gak jadi orang normal aja dengan hidup yang normal bersama jumlah pasangan yang normal?" Jleeeb.... hati dan jantungku tiba-tiba meleleh, meresap keluar melewati pori-pori daging dan kulit dan terus menembus jaket kulit badakku. Aku pun lekas-lekas mengambil sepatu yang ku beli dan membayarnya. Setengah berlari, aku memegang dadaku sambil sedikit mencondongkan badanku ke belakang berharap lelehan hati dan jantungku tak terus mengalir ke luar.
Bunyi klakson kereta api (bener gak sih namanya klakson? entahlah) tak bisa membuyarkan pikiranku saat aku sudah duduk di kereta, pikiran akan rasa kesal, jengkel, marah, dan muak yang bercampur aduk terus bersenandung ria di kepalaku.
"Emang hidup yang normal itu kayak apa sih Bu?" Kataku mulai bertanya "pasangan yang normal itu gimana? apakah pasangan yang normal itu yang hanya terdiri dari satu istri dan satu suami? jangan salah Bu, sepertinya Ibu harus banyak belajar deh! Hidup atau pasangan yang normal itu gak bisa hanya dilihat dari berapa jumlah istrinya. Emang Ibu gak bisa lihat ya, bukannya banyak contoh-contoh kalau pasangan normal itu bukan berarti satu harus berpasangan dengan satu. Banyak lho contoh-contohnya, ibu aja g bisa ngeliatnya. Kata 'ya' aja pasangannya gak cuma 'tidak' tapi juga 'bukan', bahkan kata 'is' pasangannya ada tiga 'He, She, dan It'. 'Daun' juga sama, dia punya pasangan 'jendela, pintu, dan telinga'," paparku panjang lebar, gak tahu deh jelas enggaknya.
"Wah, kalo itu beda Mas," jawab ibu.
"Beda apanya coba?" tanyaku balik "itu hukum alam bu, mau tidak mau, suka tidak suka pasangan itu tidak selamannya satu dan satu, atau dua dan dua. Gak bisa gitu Bu, justru anggapan ibu bahwa poligami itu gak normal itu yang gak normal, itu yang melanggar hukum alam. Kalau ibu membenci saya, atau entah apalah istilahnya, karena saya punya pasangan lebih dari satu, ibu juga harus membenci setiap hal yang memiliki pasangan lebih dari satu. Kalau ibu menganggap 'ya' pasangannya 'tidak', jangan sekali-kali ibu menggunakan kata 'bukan' karena itu artinya ibu bakal hidup gak normal. Jika ibu menggunakan kata 'is' untuk 'he' cari kata lain buat 'she' dan 'it' (emang dia bisa bahasa Inggris?, entahlah)"
Tapi itu hanyalah percakapan-percakapan dalam lamunanku yang buyar saat tukang periksa karcis datang padaku. Aku tak benar-benar mengatakannya, aku lebih memilih cepat-cepat pergi mengejar kereta api dan menyelamatkan jantung dan hatiku yang meleleh.
Bunyi klakson kereta api (bener gak sih namanya klakson? entahlah) tak bisa membuyarkan pikiranku saat aku sudah duduk di kereta, pikiran akan rasa kesal, jengkel, marah, dan muak yang bercampur aduk terus bersenandung ria di kepalaku.
"Emang hidup yang normal itu kayak apa sih Bu?" Kataku mulai bertanya "pasangan yang normal itu gimana? apakah pasangan yang normal itu yang hanya terdiri dari satu istri dan satu suami? jangan salah Bu, sepertinya Ibu harus banyak belajar deh! Hidup atau pasangan yang normal itu gak bisa hanya dilihat dari berapa jumlah istrinya. Emang Ibu gak bisa lihat ya, bukannya banyak contoh-contoh kalau pasangan normal itu bukan berarti satu harus berpasangan dengan satu. Banyak lho contoh-contohnya, ibu aja g bisa ngeliatnya. Kata 'ya' aja pasangannya gak cuma 'tidak' tapi juga 'bukan', bahkan kata 'is' pasangannya ada tiga 'He, She, dan It'. 'Daun' juga sama, dia punya pasangan 'jendela, pintu, dan telinga'," paparku panjang lebar, gak tahu deh jelas enggaknya.
"Wah, kalo itu beda Mas," jawab ibu.
"Beda apanya coba?" tanyaku balik "itu hukum alam bu, mau tidak mau, suka tidak suka pasangan itu tidak selamannya satu dan satu, atau dua dan dua. Gak bisa gitu Bu, justru anggapan ibu bahwa poligami itu gak normal itu yang gak normal, itu yang melanggar hukum alam. Kalau ibu membenci saya, atau entah apalah istilahnya, karena saya punya pasangan lebih dari satu, ibu juga harus membenci setiap hal yang memiliki pasangan lebih dari satu. Kalau ibu menganggap 'ya' pasangannya 'tidak', jangan sekali-kali ibu menggunakan kata 'bukan' karena itu artinya ibu bakal hidup gak normal. Jika ibu menggunakan kata 'is' untuk 'he' cari kata lain buat 'she' dan 'it' (emang dia bisa bahasa Inggris?, entahlah)"
Tapi itu hanyalah percakapan-percakapan dalam lamunanku yang buyar saat tukang periksa karcis datang padaku. Aku tak benar-benar mengatakannya, aku lebih memilih cepat-cepat pergi mengejar kereta api dan menyelamatkan jantung dan hatiku yang meleleh.
7 komentar:
Keren Mujib. Kamu bercerita dengan cara yang skeptical sekali. Bercanda yang lucu tapi juga serius hihihi.
Dan penggambaran persepsi pria dalam menyikapi poligami dapet banget, bukan berkelit (kayak kebanyakan pria) tapi malah memberikan kesempatan orang lain untuk berpikir lagi, meninggalkan pertanyaan.
BIKIN SEKUEEEELLLLNYAAAA!!!!!
NYAHAHAHAHA.
Sekuel short storynya kak mujib. Mantapssss :D
Tau gak?
Aku ngebayangin si pria yang poligami ini kak mujib yang ngomong. Jadi dapet banget juteknya #eh
Si ibu mungkin perlu dibiayai kursus bahasa inggris ya. Biar tau pasangannya 'is' itu apa aja :D
Sama kayak Lina aku juga membayangkan pria ini Mujib. Dapet skeptic nya hahaha
Wah, wah... Aku gak ada niatan poligami lho.
haha. Kak Mujib skeptis. *ngakak* :DD
Ciyeeee yang ga ada niatan. Semoga emang cuma 1 yah, kak : :)
Tapi, kak. Ada yang di deket Rumahku. Itu beliau juga orang yang berasal dari Madura. Usahanya banyak. Kaya. Dan, yang paling dia tunjukkan adalah ADIL pada 3 istrinya. Rumah mereka besar banget. Satu lingkungan. ketiga rumah tsb dibuat sama persis tanpa membedakan.
Jadi kayak de javu baca tulisan kak mujib ini :D
Hahaha Lina racist bawa2 Madura hehehehe *lol*
Jangan marah ya Jib hehe
Hidup anti-mainstream! LOL
Great story, Jib. Memang di kehidupan sehari-hari banyak cerita yang selalu bisa kita ungkapkan. Either aneh ataupun sesuai dengan pandangan orang kebanyakan.
Post a Comment